undefined
undefined
Unknown
“Zura buruan turun, mbok Mirna udah siapkan makan malam.” Suara kak Mutia dari balik pintu kamar.

“Iya kak sebentar lagi. Zura lagi ngerapiin baju yang disetrika mbok tadi siang nih.” Jawab Azzura sambil menyusun tumpukan kain ke dalam lemarinya.

“Yaudah, jangan kelamaan lho. Ntar Dio habisin lauknya, lho kan tau makannya dia banyak.”

“Hahaha.. iya kak sebentar lagi beres kok.” Sahut Azzura sambil tertawa kecil.

Mutia turun menyusuri tangga menuju lantai bawah, meninggalkan adik bungsunya yang sedang sibuk merapikan pakaian. Azzura bergegas dan mempercepat geraknya setelah mendengar peringatan kak Mutia tentang Dio saudara laki-lakinya yang nomor dua. Tiba-tiba Azzura melihat sebuah kain tebal berwarna hijau tua di salah satu tumpukan pakaiannya. Jaket tebal itu belum sempat ia kembalikan, sudah hari kamis, sudah dua hari setelah pertemuannya dengan Mawaddah, tetapi ia belum jua sempat mengembalikan jaket yang telah menghangatkan tubuhnya ketika hujan kala itu.
Sambil memegangi jaket itu, Azzura terduduk di atas tempat tidurnya yang lembut dan mulai mengingat kejadian di hari itu. Ucapan Mawaddah masih menggema dipikirannya, “Sebenernya saya sempat ragu di awal ketika melihat kamu, apakah kamu muslim atau bukan?” Ia merasa bahwa ucapan Mawaddah itu benar-benar membuat denyut yang menyakitkan di dadanya. Sosok Mawaddah selalu mengingatkannya kepada sosok al-marhumah ibunya yang telah tiada tiga tahun lalu ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ucapan Mawaddah juga semakin mengingatkannya kepada ibunya, “Seorang muslimah diwajibkan oleh Allah untuk menutupi aurat-auratnya. Dan sesungguhnya yang membedakan antara wanita muslim dengan yang bukan muslim adalah jilbab mereka.”

“Berjilbab yah, mama dulu juga sering menasihatiku begitu.” Ujarnya sambil melihat jaket tebal di pangkuannya.

Ibunya adalah sosok seorang wanita berhijab meskipun bukanlah seorang yang bisa dibandingkan dengan sosok Mawaddah. Semenjak ibunya tiada, nuansa islami mulai memudar dari keluarganya. Sosok ayah yang super sibuk dengan pekerjaannya dan sosok kakak yang juga sangat sibuk dengan karirnya, serta sosok abang yang masih labil dan sering menyusahkan orang tua. Hal itu membuat tak ada lagi orang yang membimbing dan mengajari Azzura tentang kewajibannya sebagai seorang muslimah. Kemunculan Mawaddah benar-benar seperti bunga yang tumbuh di padang tandus dalam hidupnya.

“Besok aku harus ke FK, untuk mengembalikan jaket ini sama mbak Mawaddah.” Ujarnya, (FK = Fakultas Kedokteran).

Kemudian ia melipat kembali jaket hijau tua yang bertuliskan nama Mawaddah As-Syifa itu dan meletakkannya kembali ke dalam lemari. Segera setelah menyelesaikan pekerjaannya Azzura bergegas turun menyusuri tangga menuju meja makan. Ia melihat kakak tertuanya Mutia dan Dio Abangnya yang nomor dua yang masih duduk di bangku kuliah semester akhir. Tak tampak di hadapannya sosok seorang ayah yang selalu ia rindukan.

“Ayah gak pulang lagi yah kak?” Tanya Azzura ke kak Mutia.

“Ayah bilang ia pulang larut lagi, ada berkas yang harus ayah selesaikan untuk presentasi dengan para kliennya besok.” Jelas kak Mutia.

“Dan juga sepertinya besok ayah harus keluar kota untuk beberapa hari.” Timpalnya lagi.

“Lagi?” Tanya Azzura sedikit kecewa.

“Ya kamu taukan kalau ayah itu sibuk.” Sambung bang Dio.

“Iya tau kok, hanya saja Zura rindu masa-masa dulu saat kita selalu kumpul buat makan malam bersama ada ayah dan juga mama.” Ujar Azzura sambil mengambil nasi ke piringnya.

“Iya, kamu bener. Kak Mutia juga kangen masa-masa itu. Dan kakak juga kang.....”

“Loh!! Ayam gorengnya mana?!” Teriak Azzura memotong pembicaraan kak Mutia.

“Dwah habwis..” Jawab bang Dio sambil menguyah ayam goreng di mulutnya.

“Kamu sih kelamaan, tadi kan udah kakak ingatin. Liat tuh tumpukan tulang di piringnya, udah kayak orang gak makan berminggu-minggu.” Sahut kak Mutia.

“Yaaaaah, terus Zura makan apa dong? Masa ia cuma makan kangkung dan nasi doang.

“Anak gadis itu makannya gak boleh banyak-banyak, ntar gemuk. Anggap aja lagi diet.” Ucap Dio menggoda Adiknya.

“Tenang non, udah mbok siapkan khusus buat non Zura.” Mbok Mirna datang sambil membawakan piring berisikan tumpukan ayam goreng.

“Waaaaahh, mbok Mirna emang paling mengerti Zura. Gak kayak bang Dio, rakus!! Makannya aja banyak tapi badannya segitu-segitu mulu.”

“Hehehe iya dong non, mbok Mirna gitu loh.” Ucap wanita paruh baya berjilbab putih itu.

“Oh ya mbok, udah siap masaknya kan? Sekalian ajakin pak Dirman makan, sepertinya pak Dirman belum makan dari tadi.” Ucap kak Mutia.

Mutia Aldira Putri, kakak tertua Azzura ini merupakan sosok wanita berambut pendek yang sangat cantik dan ramah. Sosoknya yang dewasa dan bijaksana sebagai anak tertua membuat Azzura merasa masih memiliki seorang ibu yang selalu memperhatikannya. Meskipun terkadang Mutia sibuk dengan karirnya sebagai seorang designer dan mengurus beberapa butik usahanya, tetapi ia masih menyempatkan diri untuk memperhatikan Azzura adik bungsunya. Bagi Azzura, kakaknya adalah sosok seorang wanita modern yang stylish dan sangat trendi.

“Iya non, nanti saya suruh pak Dirman makan.” Jawab mbok Mirna.

“Zura, Dio, kakak ke kamar sebentar, ada distributor batik yang mau kakak hubungi.” Ucap wanita berumur 27 tahun itu sambil melangkah meninggalkan meja makan.

“Halah, bilang aja mau nelpon bang Jo.” Gerutu Dio sambil mencomot sepotong paha ayam goreng dari piring yang dibawa mbok Mirna untuk Azzura.

“Tangan!!” Bentak Azzura melihat kelakuan Dio.

“Anak perempuan itu makan gak boleh banyak-banyak, ntar gemuk loh.”

“Biarin !” Jawab Azzura sambil menggelembungkan pipinya yang imut.

Azzura masih bersyukur, meski kehilangan sosok mama yang sangat ia cintai, dan sosok ayah yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia masih memiliki seorang kakak perempuan yang baik dan mau mendengarkan ceritanya, serta sosok seorang abang yang usil dan suka mengganggunya. Saat ini Azzura hanya tertawa di meja makan bercanda tawa dengan mbok Mirna dan saudara laki-lakinya.

Jum’at pagi yang begitu cerah, tak terlihat sedikitpun tanda-tanda akan turunnya hujan. Kerumunan mahasiswa berkeliaran di sekitaran kampus, menjalani aktifitas harian yang bagi sebagian orang sangat membosankan. Azzura melintas di koridor fakultas dengan begitu anggun dan mempesona. Kaos merah marun berlengan panjang berhiaskan pernak-pernik keemasan dan skinny jeans hitam membuatnya terlihat begitu memikat. Rambutnya yang hitam dan tebal tergerai begitu indah dan menambah kecantikan wajahnya yang orientalis. Make up yang natural berpadukan penampilan yang stylish, disempurnakan dengan high heels hitam yang menghiasi kakinya, serta sebuah tas gandeng berwarna hitam mengkilap tergantung di bahu kanannya. Tubuhnya yang jenjang dan anggun membuatnya terlihat bagaikan seorang model yang sedang cat walk di hadapan ratusan mata.

Penampilannya yang mencolok dan kerap menjadi perhatian bagi para lelaki, membuatnya cukup terkenal di fakultas sastra. Meski ia masih berada di semester empat, tetapi banyak dari kalangan lelaki yang mengenal dirinya. Bahkan seorang ketua BEM Fakultas pernah mencoba untuk mendekatinya bahkan mengajak Azzura untuk berpacaran. Sayangnya Azzura bukanlah tipikal wanita yang mudah tertarik dengan seorang lelaki hanya dari penampilan dan status sosialnya. Nasihat kakaknya Mutia tentang seperti apa kebanyakan lelaki masih menjadi dasar penilaiannya. Ia tidak lagi memiliki seorang ibu, siapa lagi yang harus dia dengarkan jika bukan nasihat kakak tertuanya yang juga seorang wanita?

Ada sesuatu yang sedikit janggal dari penampilan Azzura saat itu. Winny teman sekelasnya menyadari hal itu dengan sangat jelas. Ia pun bergegas mengejar Azzura dari belakang dan mempercepat langkah kakinya yang berhiaskan flat shoes merah.

“Ra, apaan tuh yang lho bawa di tangan kiri lho?” Ujar Winny mengagetkan Azzura.

“Elo Win, bikin kaget aja. Ini jaket milik seorang senior di FK, beberapa hari lalu ia meminjamkannya padaku saat berteduh di halte bis.” Jawab Azzura.

“Ciiiiieeeee, setelah nolak ketua BEM sekarang mainnya sama anak kedokteran aja nih ya.” Usik Winny.

“Apaan sih lho Win, jaket ini yang punya cewek tau!” Jelas Azzura memperbaiki kesalahpahaman Winny.

“Haaaaa? Jadi begitu ternyata. Sekarang gue ngerti kenapa lho nolak kak Ardi, ternyata lho itu......? Sebaiknya gue jaga jarak mulai saat ini.” Usik Winny sekali lagi.

“Iiiiissh, apaan sih lho. Asal lho tau ya, yang punya nih jaket itu orangnya baik dan ramah banget. Dia itu wanita sholehah, jilbabnya lebar banget, melihatnya saja gak bisa dibandingkan dengan cewek seperti kita.” Jelas Azzura.

“Oh gitu, dia pasti aktifis kampus Ra. Coba lihat jaketnya.” Pinta Winny.

“Kan bener, coba deh baca.” Ucap Winny menunjukkan bagian punggung jaket itu.

“Kemuslimahan Az-Zahra.” Baca Azzura.

“Ini itu kegiatan muslimah di FK Ra. Di fakultas kita juga ada, tapi aku lupa namanya. Kadang juga aku diajak sama temen-temen kita yang berjilbab di kelas, tapi aku minder karena aku gak pake jilbab.” Jelas Winny.

“Lho kok bisa tau banyak gitu Win?” Tanya Azzura.

“Dulu di masa ospek kan ada perkenalan setiap UKM di kampus, masa lho lupa sih Ra? Kalo masalah kemuslimahan di FK, kebetulan ada seseorang di kontak BBM milikku yang ternyata anggota kegiatan itu, dia teman satu kelas di les bimble dulu. ” Jawab Winny.

“Aku lupa Win, karena banyaknya UKM di kampus kita. Yang ku ingat hanya BEM dan juga HMJ. By the way, apa nama UKM-nya Win? Mungkin aku bisa kesana buat ngembalikan jaket ini.”

“Kalo gak salah namanya itu UKMI Ad-Dakwah, UKMI itu singkatan dari Unit Kegiatan Mahasiswa Islam. Isinya itu semuanya cewek-cewek berjilbab seperti yang lho bilang tadi. Gak hanya itu, cowok-cowok disana itu subhanallah banget Ra.”

“Bisa ngucap juga lho yah Win, hahaha...”

“Gini-gini aku masih orang islam, keles.”

“Emangnya kenapa Win dengan cowok-cowok disana?”

“Emang gak semuanya ganteng sih Ra, malah kebanyakan yang jelek. Tapi kalo bicara soal ilmu agama mereka ahlinya. Hampir di setiap fakultas mereka itu punya anggota, makanya ada beberapa kegiatan yang berbeda di setiap fakultas yang dibuat oleh mereka.”

“Eeeh Win, tuh tuh.. liat tuh.” Ujar Azzura melirik ke dua orang wanita berhijab syar’i yang ada di hadapan mereka.

“Apa ku tanya ke mereka aja yah?” Sambungnya.

“Emangnya lho berani negur mereka Ra? Cewek ahli neraka kayak kita negur cewek-cewek penghuni surga seperti mereka. Iih gak kebayang deh Ra, gue aja malu kalo berpapasan dengan mereka.” Ujar Winny.

“Yaudah deh gue urungkan aja niat gue, sebenarnya gue juga minder kalo lewat di depan mereka. Kayak mana kalo nanti mereka ngelihat jaket yang gue pegang ini.”

“Yaudah, gimana kalo kita ambil jalan mutar aja.”

“Ayo deh Win, gue ikut lho aja.”

“Win, sepulang kuliah nanti lho mau gak nemeni gue ke FK?” Sambung Azzura.

“Mau sih Ra, tapi lho tau kan gue harus kerja. Lho mah enak banget bisa nyantai mulu, nah lho kan tau gue gak seberuntung elo.”

“Iya Win, sorry gue lupa. Yaudah ntar lho hati-hati kalo kerja. Thanks yah udah ngasih gue info penting buat ngembalikan jaket ini.”

“Oke Ra gak masalah kok, kayaknya kita harus buru-buru deh. Udah telat nih, dari tadi ngobrol mulu jadi santai banget jalannya.” Ujar Winny melihat ke arah jam tangannya.

“Iya Win, yuk.”

Winny Ayunda, seorang cewek manis yang agak tomboy. Rambutnya yang selalu dikepang dan poninya yang selalu dibuat kesamping membuatnya terlihat manis. Wanita berlesung pipit itu adalah teman Azzura sejak jaman SMA, meski Azzura gak pernah menduga ia akan sekelas lagi dengan Winny ketika kuliah tapi hubungan mereka memang sudah cukup akrab. Dulu semasa SMA, Azzura tak kalah terkenalnya seperti saat ini. Ia kerap menjadi bahan pembicaraan dari kalangan lelaki dan perempuan, banyak cowok yang suka padanya dan tak kalah dengan itu banyak cewek yang iri dengannya. Azzura pernah di-bully oleh kakak kelas bahkan teman sekelasnya, banyak perempuan yang iri dan menjelek-jelekkannya. Meskipun ia cantik dan berasal dari keluarga terhormat, tetapi tak banyak yang mau menjadi temannya. Bahkan sebagian dari temannya juga hanya memanfaatkan kepopuleran dan kekayaannya.

Hingga hari dimana al-marhumah ibunya meninggal dunia, ia akhirnya tahu mana orang yang benar-benar tulus menjadi temannya. Saat itu hanya tiga orang yang ada untuknya disaat ia benar-benar dalam keadaan berduka. Arsyad, seorang lelaki yang telah menjadi masa lalunya, seorang gadis berjilbab putih yang tiba-tiba hadir kepemakaman ibunya, dan Winny adalah salah satu di antaranya. Sejak hari itu Azzura akrab dengan Winny, tak jarang terkadang Winny di ajak bermain ke rumahnya. Meski Winny berasal dari kalangan menengah ke bawah, tak membuat Azzura risih berteman dengannya. Kebaikan dan kejujuran Winny dalam berteman membuatnya merasa nyaman dan menganggap Winny seperti saudarinya sendiri. Karena tak seperti yang lainnya, Winny tak pernah mengharapkan apapun dari kepopuleran dan kekayaan Azzura.

Jam kuliah telah berakhir, sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB dan Azzura mengucapkan salam perpisahan dengan Winny di depan gedung fakultas. Ia melangkahkan kakinya menuju gedung besar berwarna putih yang jaraknya cukup jauh dari fakultas sastra. Sambil menyandang tas berwarna krem keemasan di tangan kanan dan sebuah jaket hijau tua di tangan kiri, Azzura berjalan seraya melihat lalu lalang mahasiswa yang sibuk dengan aktifitasnya. Mata Azzura semakin liar mencari-cari sosok Mawaddah disana. Ada sedikit lelaki yang juga ia lihat terburu-buru menuju masjid kampus, mungkin mereka sedang mempersiapkan diri untuk shalat jum’at.

Matahari bersinar sangat terik, menyengat kulit putih dan mulus milik Azzura. Ia mempercepat langkahnya, hingga high heels-nya tak mampu menahan beban langkahnya.

“Aduuuuuhh.” Teriak Azzura sambil mengangkat tangannya yang kotor terkena pasir di aspal.

“Apeess banget gue bisa jatuh gini, Eh jaket mbak Mawaddah.” Sambungnya lagi sambil meraih jaket tebal yang tadi di pegangnya.

“Kamu gapapa?” Terdengar suara seorang laki-laki yang menghalangi sinar matahari dari Azzura.

“Pake nanya segala! udah tau gue jatuh ya jelas gue kenapa-ke...” Ucapan Azzura terhenti ketika melihat sosok pemuda di hadapannya.

“Assalamu’alaikum.” Ujar laki-laki berkemeja hitam itu.

“Wa-wa’alaikumsalam.” Jawab Azzura kaku.

“Kamu bisa berdiri?” Tanya laki-laki itu sekali lagi.

“Eh, i-iya bisa kok.” Azzura bangkit dan membersihkan Skinny jeans hitamnya yang kotor terkena debu.

“Syukurlah, kalo begitu saya duluan ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa-wa-wa’alaikumsalam.”

Azzura hanya terdiam melihat punggung lelaki itu menghilang dari hadapannya. Teriknya sengatan 
matahari tak lagi terasa di kulitnya, hanya sebuah lamunan kosong dan bayangan lelaki berkemeja hitam itu yang terlintas di pikirannya. Ntah berapa lama ia tertegun dan berdiri disana, hingga sosok pemuda itu menghilang dan ia sadar bahwa kulitnya mulai terasa panas.

“Aduuh, panasnya. Untung tadi gue pakai tabir surya.” Ujarnya.

“Gue sampe lupa ngembalikan jaket mbak Mawaddah.” Sambungnya.

“Kira-kira lelaki tadi itu siapa yah? Wajahnya itu benar-benar familiar, seperti pernah kulihat sebelumya. Tapi ganteng juga sih, banget malah. Selain itu, sepertinya dia orang baik, terlihat dari cara bicaranya.”

Sepanjang jalan Azzura berbicara dengan dirinya sendiri dan mencoba mengingat-ngingat kembali sosok laki-laki yang tadi ia temui. Tanpa sadar akhirnya Azzura sudah sampai di depan gedung fakultas kedokteran beriringan dengan dikumandangkannya adzan jum’at. Ia langsung menyusuri koridor-koridor bangunan itu namun tak terlihat sedikitpun sosok wanita cantik yang ia cari-cari. Sesekali ia bertanya kepada mahasiswa-mahasiswa yang masih berkeliaran di sekitar gedung, dimana ruangan mahasiswa semester enam? Setelah beberapa kali menerima jawaban “tidak tau.” Azzura akhirnya bisa langsung bergegas ke lantai tiga tempat mahasiswa semester enam belajar. Sangat mengecewakan, setibanya dia disana situasi sudah sepi dan tak ada sosok Mawaddah yang ia cari.

Setelah kecewa karena tak menemukan Mawaddah, Azzura berjalan menuruni tangga dan berpapasan dengan tiga orang wanita berberhijab syar’i. Terjadi konflik batin di hatinya, antara keinginan untuk bertanya dan rasa malu dengan penampilannya. Akhirnya, setelah melalui konflik batin yang mendalam Azzura melepas rasa malunya dan mempercepat langkahnya mengejar tiga orang wanita tersebut.

“A-a-ssalamu’alaikum mbak.” Sapa Azzura kepada ketiga wanita itu.

“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatu.” Jawab tiga wanita itu serentak.

“Ada apa yah mbak? Ada yang bisa kami bantu?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Eee.. A-anu, eee... Sa-saya sedang mencari mbak Mawaddah, mbak kenal gak dengan mbak Mawaddah?” Tanya Azzura gugup.

“Oh, Mawaddah As-Syifa ya?” Sahut seorang wanita berkerudung coklat gelap.

“Iya mbak. Kenal kan?” Tanya Azzura sekali lagi.

“Kenal dong, mbak Mawaddah itu cukup terkenal di fakultas kedokteran. Selain seorang aktifis di LDK, dia itu juga seorang asisten dosen, jadi dia sering masuk ke kelas saya.” Jawab wanita berhijab putih.

“Kalo boleh tau ada keperluan apa yah mencari mbak Mawaddah.” Sambung wanita berhijab putih itu.

“Ini mbak, beberapa hari yang lalu mbak Mawaddah meminjamkan saya jaketnya saat hujan. Jadi saya berniat mengembalikannya.” Jawab Azzura.

“Kira-kira bisa saya titip ke mbak? sampaikan terima kasih saya kepada mbak Mawaddah.” Sambungnya.

“Kenapa gak ikut kita aja sekalian, kebetulan kita mau ketemuan sama mbak Mawaddah.” Sahut si wanita berberhijab putih.

“Bener tuh, sekalian ikut kita aja yuk mbak. Lagi pula jika kita meminjam barang, alangkah baiknya jika kita sendirilah yang mengembalikan barang tersebut. Sekaligus menghargai orang yang sudah meminjamkannya kepada kita.” Sambung si wanita berkerudung coklat gelap.

“Yuk ikut kita.” Ajak wanita berhijab putih.

“I-iya mbak.” Dengan sedikit rasa minder Azzura mengiyakan ajakan ketiga wanita cantik itu.

“Oh iya mbak, kenalin nama saya Aqila Azzura, panggil aja Zura. Saya mahasiswa fakultas sastra semester empat” Ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“Nama saya Arshiyla Humaira, panggil aja Syila. Saya masih semester empat di kedokteran.” Sahut wanita berhijab putih itu sambil menjabat tangan Azzura.

“Nama saya Clara Septiani, saya sudah semester enam di kedokteran tapi di jurusan yang berbeda dengan Mawaddah.” Ujar wanita berjilbab coklat gelap dan menyambut uluran tangan Azzura.

Saat itu Azzura menyadari, ada seseorang yang dari tadi hanya diam saja. Wanita yang hawa keberadaannya lebih mencolok dibandingkan dengan dua wanita lainnya. Yang membuatnya berbeda adalah cadar hitam yang menutupi wajahnya. Busana berwarna hitam yang menjulur di tubuhnya dipadukan dengan hijab syar’i yang berwarna kuning cerah kontras dengan warna cadarnya, membuat wanita bertubuh kecil itu begitu indah. Azzura tertegun sejenak memperhatikan wanita itu, tatapan matanya yang bulat membuat Azzura terpaku.

“Nadira, panggil aja saya Nadira.” Terdengar suara dari balik cadar itu.

“Oh iya mbak.” Sahut Azzura menjabat tangan wanita bercadar itu.

“Nadira ini memang masih semester dua, tetapi usianya sama dengan kita yang sudah semester empat. Dulu ia sempat tidak berkuliah satu tahun. Ya kan Nadira?” Ujar Syila.

“Iya.” Jawab Nadira singkat.

“Walaupun masih muda, Nadira ini sangat luar biasa loh. Dia sudah hafal lebih dari setengah Al-Qur’an.” Sambung Clara.

“Wow! hebat!” Sentak Azzura kaget.

“Jangankan menghafal Al-Qur’an, gue aja shalat masih jarang mengerjakan.” Ujar Azzura di dalam hati.

“Sudah, tidak perlu dibahas. Mari kita temui mbak Mawaddah.” Sahut wanita bercadar itu, terlihat matanya yang melengkung menadakan ia tersenyum.

Mereka pun berjalan menuju tempat yang Azzura tak ketahui, keramah-tamahan wanita-wanita berhijab syar’i itu membuatnya lupa untuk bertanya. Suasana nyaman tanpa ada diskriminasi. Awalnya ia minder dan takut jika diejek atau disindir karena busananya, tetapi ketiga wanita itu menyambutnya dengan hangat dan memperlakukannya seperti memperlakukan seseorang yang sudah lama mereka kenali.

Azzura ingat, ia pernah merasakan hal seperti ini. Suasana yang nyaman dan ceria seperti ini. Ya, saat itu, saat pertama kali ia berkenalan dengan Mawaddah di halte bis. Mereka memperlakukan Azzura seperti teman dekat dan tidak mengolok-olok penampilannya. Azzura masih terus memperhatikan wanita bertubuh kecil yang mengenakan cadar itu. Nadira, sepertinya ia merasa familiar dengan nama panggilan itu. Dibandingkan dengan Syila dan Clara, Nadira lebih sedikit berbicara dan hanya tertawa pelan sesekali. Entahlah, Azzura tak tahu rupa seperti apa yang ada di balik cadar hitamnya itu.

“Nah, kita sudah sampai.” Ujar Syila.

Azzura takjub dengan apa yang ada di hadapannya. Sekumpulan wanita-wanita berhijab memenuhi ruang aula jurusan kedokteran, memberikan nuansa penuh warna yang menghiasi ruangan itu. Ada beberapa yang masih mengenakan celana jeans seperti dirinya, hanya saja mereka mengenakan jilbab meski tak sebesar dan setebal milik tiga wanita di sampingnya.

“Ee.. A-anu, saya titip jaketnya saja yah.” Ujar Azzura tiba-tiba.

“Loh kenapa? Sekalian aja masuk, kebetulan yang mengisi materi kemuslimahan hari ini adalah mbak Mawaddah yang kamu cari.” Sahut Syila.

“Tapi sepertinya dia belum datang. Mungkin sedang shalat dzhuhur.” Timpal Clara.

Tak ada komentar yang keluar dari mulut Nadira, ia hanya diam memperhatikan Azzura yang seperti salah tingkah atau lebih tepatnya malu untuk masuk ke dalam ruangan. Seketika Nadira meraih ransel di punggungnya, ia mengambil sehelai kain berwarna hitam dari dalam dan menyerahkannya ke Azzura.

“Ini, pakailah.” Ujar Nadira.

“........” Azzura tak bisa berkomentar.

“Sebenarnya ini adalah barang dagangan milik kakakku. Tapi aku yakin dia tidak keberatan jika aku memberikan satu kepadamu.” Sambung Nadira.

Azzura hanya terdiam, tiba-tiba sehelai kain hitam sudah berada di tangannya. Tangannya gemetar, ia tak tau apa yang harus ia perbuat. Saat itu, semua nasihat dan perkataan ibu yang pernah menyuruhnya untuk berhijab terlintas di dalam benaknya. Tanpa sadar Azzura mulai meneteskan air mata, di hadapan Syila, Clara, dan Nadira, Azzura menangis dan menutupi wajahnya dengan kain hitam itu.

“Pakailah.” Sahut suara lembut dari belakang Azzura bersamaan dengan tangan yang merangkul bahunya.

Azzura mengangkat kepalanya dan melihat sosok Mawaddah yang dari tadi ia cari-cari. Spontanitas Azzura langsung memeluk Mawaddah, air matanya membasahi kerudung hitam yang dikenakan oleh wanita yang ia temui di halte bis itu. Azzura tak kuasa menahan isak tangisnya, Mawaddah langsung mendekapnya, Syila dan Clara langsung mengelus-elus punggung Azzura, sedangkan Nadira hanya diam dan melihat saja. Nadira membelakangi mereka semua, kembali mengenakan ranselnya, dan menyeka matanya yang berkaca-kaca. Sifat Nadira yang ceu tetapi menyentuh telah menggoyahkan hati Azzura.

Setelah mengusap air matanya, Azzura berdiri tegak menatap wanita-wanita luar biasa yang telah menenangkannya. Mawaddah mengusap sisa-sisa air mata yang tertinggal di pipi Azzura, seraya berkata “Jangan menangis, wanita cantik seperti ukhti haruslah terlihat anggun. Pakailah dan lihatlah betapa cantik ukhti bila mengenakan hijab ini.”

Azzura hanya menganggukkan kepalanya, matanya masih berkaca-kaca di hadapan wanita-wanita yang baru ia kenali itu. Mawaddah meraih kain hitam di tangan kanan Azzura dan memakaikannya membaluti rambut yang hitam dan tebal milik Azzura. Azzura hanya diam dan merasakan kehangatan dari seorang ibu yang lama tidak ia rasakan, kehangatan yang ia rindukan. Tanpa ia sadari kain hitam yang tadi berada di tangannya kini menjadi perhiasan yang begitu indah. Air mata masih membasahi matanya dan sekali lagi Nadira mengulurkan tangannya.

“Ini. Husap air matamu dan lihat betapa cantiknya dirimu.” Ujarnya sambil menyerahkan sebungkus kecil tissue dan cermin rias di tangannya.

Azzura meraih benda itu dan menghapus air matanya. Make up-nya sedikit luntur, segera ia membersihkannya. Ia melihat sosok dirinya berbalut hijab di depan cermin. Hatinya berkata, “Mama, lihatlah anakmu ini. Anak mama sekarang pakai jilbab seperti keinginan mama dulu. Ma, andai mama masih ada, Zura ingin mama melihat Zura berhijab seperti ini.”

Hari itu, di Jum’at yang berbeda dari biasanya. Saat matahari lebih terik daripada hari-hari sebelumnya, sebuah cahaya terpancar dari sebuah pelukan dan uluran tangan muslimah-muslimah cantik di hadapan Azzura. Cahaya yang akan membawanya kepada sebuah fenomena yang akan merubah hidupnya.


Penulis : Umar Abdurrauf

0 Responses

Posting Komentar