Angin berhembus kencang, menerpa helaian rambut Azzura yang tergerai indah di punggungnya. Langit mulai tak bersahabat. Kilatan-kilatan mulai terlihat di celah awan. “Sepertinya akan hujan.” Gumamnya melihat langit kelabu.
Ia pun bergegas meninggalkan gedung biru yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Dengan terburu-buru ia berlari menuju halte bis di depan gerbang kampus sambil mendekap buku-buku pelajaran di tangannya. Belum sempat kakinya melangkah ke halte bis, hujan turun dan membasahi dirinya. Ia langsung mempercepat langkahnya dan buku-buku yang berada di dekapannya berpindah ke atas kepalanya sebagai pelindung dari hempasan air hujan.
“Huuft, jadi basah begini.” Ujarnya ketika sampai di halte bis.
Rambutnya yang hitam, tebal, dan lurus terlihat lembab dibasahi air hujan. Ia segera merapikan rambut indahnya yang berantakan. Tangannya disibukkan dengan helaian-helaian rambut yang kusut. Sementara itu hujan semakin deras dan halte bis semakin ramai. Banyak mahasiswa yang berdiri di hadapan Azzura untuk berteduh.
“Untung saja aku dapat tempat duduk.” Ujarnya dalam hati.
Gemuruh mulai terdengar dan angin semakin kencang menghempas butiran-butiran air hujan yang terus menciptakan genangan-genangan air di lubang-lubang jalan yang berada di depan halte bis. Cukup lama Azzura duduk disana dan hujan masih belum redah juga, tatapan kosong mulai terpancar di matanya setelah Smartphone-nya mati.
“Mau biskuit ukhti?” Ujar seorang wanita berhijab yang dari tadi sudah duduk di sampingnya.
“Eh... i-iya, terima kasih.” Jawabnya sambil mengambil biskuit dari bungkus berwarna merah.
Sambil mengunyah biskuit di mulutnya, tanpa sadar tatapan Azzura telah teralihkan oleh wanita cantik berhijab biru itu. Ia kagum dengan penampilan wanita itu yang begitu anggun berbalut hijab tebal nan indah. Perawakannya yang begitu lembut dan membawa ketenangan membuat Azzura semakin terpukau menatap sosok wanita itu. Hingga tiba-tiba angin berhembus lebih kencang, hempasan air hujan masuk ke dalam halte bis dan membasahi kerumunan. Hawa dingin mulai merayap di pergelangan tangan Azzura yang putih, mulus, dan lembut. Sentak ia berusaha menghangatkan diri dan langsung mengusap-usap kedua pergelangan tangannya.
“Dingin yah ti?” Sahut wanita berhijab itu.
“I-iya nih mbak.” Jawab Azzura dengan senyuman kaku.
“Ini, saya ada jaket. Kalau ukhti mau boleh dipakai.” Ujar wanita berhijab itu memberikan jaket yang sejak awal sudah ada di pangkuannya.
“Ee, gak usah deh mbak, saya gapapa kok.”
“Udah dipakai saja dari pada nanti ukhti sakit.” Paksa wanita berhijab itu.
“I-iya, makasih yah mbak.” Balas Azzura dengan rasa sungkan.
Ia pun mengenakan jaket tebal milik wanita berhijab itu, tubuhnya mulai terasa lebih hangat setelah tertutupi balutan kain tebal berwarna hijau tua yang bertuliskan Mawaddah As-Syifa di bagian kanan dada jaketnya. “Namanya Mawaddah, nama yang indah.” Ujar Azzura dalam hati.
“Gimana ti? Udah lebih hangat?” Ucap Mawaddah.
“Sudah lebih hangat, makasih yah mbak Mawaddah.” Jawabnya.
“Loh kok tau nama saya?”
“Ini tertulis di jaketnya mbak.”
“Oh iya hehe, saya lupa. Ngomong-ngomong jangan panggil mbak dong, panggil aja Mawaddah. Saya mahasiswa semester 6 fakultas Kedokteran.”
“Nama saya Aqila Azzura, biasa dipanggil Azzura, saya mahasiswa fakultas sastra semester 4. Sepertinya saya memang harus panggil mbak, karena mbak lebih senior.”
“Yasudah kalau begitu, panggil mbak juga gapapa.”
“Oh yah mbak, dari tadi manggil saya ti.. ti.. apa itu tadi?”
“Maksud kamu ukhti?” Sahut Mawaddah menyela ucapan Azzura.
“I-iya itu mbak, kalau boleh tau artinya apaan yah?” Tanya Azzura bingung.
“Ukhti itu berasal dari bahasa Arab yang berupa panggilan untuk saudara perempuan. Sama halnya seperti kamu manggil saya dengan sebutan mbak. Temen-temen saya biasa manggil saya ukhti Mawaddah.”
“Oh begitu, saya kira apaan.. Nama saya kan bukan Siti, kok dipanggil ti..ti.. hehehe” Jawab Azzura seraya bercanda.
“Hahaha.. Mau biskuit lagi?” Tawar Mawaddah.
Kali ini tanpa rasa canggu Azzura menggerakkan tangannya untuk mengambil sepotong biskuit coklat yang berbalut bungkus merah di tangan Mawaddah.
“Sebenernya saya sempat ragu di awal ketika melihat kamu, apakah kamu muslim atau bukan? Tapi setelah melihat nama di buku yang kamu pangku, saya jadi yakin kalau kamu seorang muslim.” Ucap Mawaddah tiba-tiba.
“Kok mbak bisa ragu, emangnya wajah saya gak kelihatan seperti orang islam yah?” Jawab Azzura dengan sedikit merasa tersindir.
“Bukan, bukan seperti itu. Sungguh tak ada maksud saya mengatakan demikian. Tetapi seorang muslimah diwajibkan oleh Allah untuk menutupi aurat-auratnya. Dan sesungguhnya yang membedakan antara wanita muslim dengan yang bukan adalah jilbab mereka.” Jelas Mawaddah panjang lebar.
“I-iya mbak, dulu mama saya juga sering bilang seperti itu. Hanya saja saya merasa belum siap mengenakan jilbab.” Ujar Azzura malu setelah mendengar penjelasan Mawaddah.
“Hehehe, kamu itu cantik banget loh. Laki-laki mana yang gak suka dengan wanita cantik seperti kamu. Mata yang indah dengan bulu mata yang lentik, Alis tipis yang menawan, kulit putih dan bersih, dan hidung mancung yang bikin orang pesek iri. Hehehe.. Saya nggak kebayang, jika kamu mengenakan jilbab, berapa banyak lagi kecantikanmu akan bertambah.” Ucap Mawaddah sambil menggoda Azzura.
“Aah, mbak ini bisa aja.” Jawab Azzura sambil menunduk malu.
“Mbak juga cantik, ketika melihat mbak rasanya saya jadi merasa tenang dan adem gitu.” Sambungnya.
“Adem? Emangnya saya AC. Hahaha” Canda Mawaddah dengan tawa kecilnya
“Serius loh, mbak emang cakep, perawakan mbak itu seperti seorang ustadzah saja.”
“Hehehe.. saya bukan ustadzah kok, saya gak lebih baik daripada muslimah lainnya.”
“Mbak bener-bener membuat saya kagum sekaligus cemburu.”
“Loh, kok gitu?” Ucap Mawaddah kaget.
“Hehehe.. iya mbak, ntah mengapa begitu berat bagi saya untuk berjilbab seperti mbak.”
“Hmmm... Tidak ada yang berat ukhti, semua wanita itu memiliki kecantikannya tersendiri. Ukhti Azzura bisa kok berjilbab, saya gak keberatan buat ngajarin ukhti.”
“Mbak serius mau ngajarin saya?”
“Iya ukhti, by the way, itu biskuitnya dimakan dong, masa dianggurin aja dari tadi.”
“Eh, iya mbak.. hehehe” Jawab Azzura malu.
Saat itu Azzura tak pernah menduga bahwa pertemuannya dengan Mawaddah akan mengubah hidupnya. Hari itu, saat langit gelap tertutup awan kelabu dan nikmat-Nya bertebaran di penjuruh bumi. Sebuah pelangi nan indah bersinar di antara dua muslimah yang Allah pertemukan di bawah naungan atap halte bis.
“Mbak, kok tau saya muslim setelah lihat nama saya?” Ujar Azzura penasaran.
“Oh itu, hehe.. sebenarnya saya selain kuliah di fakultas kedokteran, juga sering ikut les privat bahasa Arab dengan seorang kenalan saya yang kebetulan seorang Sarjana dari Al-Azhar, Kairo. Jadi ketika saya melihat nama kamu, saya tau kalau itu bahasa Arab, biasanya orang tua itu sering mengambil bahasa Arab menjadi nama anaknya sebagai do’a dan pengharapan mereka terhadap anaknya.” Jawab Mawaddah.
“Beneran tuh mbak? Saya malah gak tau sama sekali kalo nama saya itu bahasa Arab. Yang saya tau, nama saya cukup keren dibandingkan dengan nama-nama temen saya yang lain. Seperti Siti, Nisa, Sari, dan nama mainstream lainnya.”
“Huuuss, gak boleh seperti itu. Nama itu adalah pemberian orang tua untuk anaknya, disana terselip do’a tulus mereka untuk anaknya. Jadi, gak peduli se-mainstream apapun nama mereka, kita harus menghargainya.”
“Ma-maaf mbak. Saya malah jadi menyombongkan nama saya.” Ucap Mawaddah malu.
“by the way arti nama saya apa yah mbak?” Sambungnya.
“Dalam bahasa Arab, Aqila itu artinya wanita yang baik, mulia, dan terhormat. Subhanallah, nama yang sungguh indah, bukan?”
Aqila tersipu malu melihat wanita berhijab biru itu memuji namanya, ia pun tertunduk dan menganggukkan kepalanya. Ia tak pernah tahu kalau namanya itu ternyata memiliki arti yang sangat indah. Aqila, wanita yang baik, mulia, dan terhormat. Seketika ia bertanya pada dirinya, “apakah aku pantas menyandang nama seindah ini? Aku bukanlah wanita yang baik dan mulia seperti mbak Mawaddah, terhormat? Aku tak tau apakah aku pantas dibilang wanita terhormat sementara aku tidak bisa menjaga auratku? Sepertinya aku tak pantas dengan nama ini.”
“Hei, kok malah bengong.” Ujar Mawaddah memecah lamunan Azzura.
“Mau dilanjutin, gak?” Sambungnya lagi.
“Eeh. I-iya mbak, maaf yah hehehe.” Jawab Azzura kaget.
“Kalau Azzura itu berasal dari bahasa Persia, Inggris, dan Spanyol yang artinya langit yang biru. Indah, menenangkan dan menentramkan ketika melihatnya. Sepertinya orang tua kamu memiliki harapan besar padamu dengan memberikan nama itu. Wanita yang baik, mulia, dan terhormat, seperti indahnya langit biru. Subhanallah nama yang benar-benar indah.”
“Saya jadi malu sekaligus minder mbak.” Ucap Azzura.
“Loh, kenapa?” Sahut Mawaddah heran.
“Saya merasa gak pantes menyendang nama seindah itu. Saya bukanlah wanita yang baik dan mulia seperti mbak, saya juga belum mampu menjaga kehormatan diri saya dengan memakai jilbab, padahal saya seorang muslim.” Tanpa sadar Azzura sudah meneteskan air mata.
“Eh, loh, kok saya jadi cengeng gini yah.” Sambung Azzura sambil mengusap air matanya.
“Jangan merasa seperti itu, Allah itu Maha Bijaksana. Mungkin pertemuan kita kali ini merupakan suatu kesempatan bagi ukhti untuk mulai memperbaiki kesalahan di masa lalu. Nama yang indah itu adalah pemberian kedua orang tua ukhti, itu adalah sebuah pengharapan mereka pada ukhti. Saya tidak keberatan jika ukhti mau saya ajari gimana caranya mewujudkan harapan kedua orang tua ukhti.” Ucap Mawaddah mencoba menenangkan Azzura.
“Makasih yah mbak, sudah mau memberikan saya nasihat dan juga mengingatkan bahwa saya adalah seorang muslimah.” Ujar Azzura.
Pembicaraan yang panjang itu akhirnya berlanjut menjadi sebuah ta’aruf yang membuat mereka semakin akrab. Azzura tak pernah merasa senyaman ini dengan orang yang baru ia temui, seorang wanita berhijab biru tua yang membuatnya merasa tenang dan nyaman untuk berbagi. Ia merasa seperti sudah begitu lama mengenal Mawaddah, seperti sudah bertahun-tahun bersahabat dengannya. Ia merasa bahwa Mawaddah adalah sosok teman yang berbeda daripada teman-teman yang pernah dia temui. Teman-teman yang selalu mengajaknya ke jalan yang salah. Kini di hadapannya seorang bidadari cantik mengulurkan tangan penuh harapan. Akankah Azzura meraih uluran tangan itu? Ataukah ia akan menepisnya lagi? Seperti ketika ibunya menasihatinya dulu.
Hujan mulai berhenti, angin menghilang, dan cahaya hangat mentari mulai merambat melalu sela-sela awan kelabu yang mulai memudar. Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan kerumunan, halte bis yang tadinya ramai kini mulai sepi. Azzura dan Mawaddah terlalu asyik berbagi cerita hingga tak menyadari hal itu.
“Eh, hujannya sudah redah.” Ucap Mawaddah.
“Iya mbak, sepertinya kita terlalu asyik cerita nih.” Sambung Azzura.
“Kalo gitu saya duluan yah, soalnya saya ada les privat setelah ini.” Ucap Mawaddah.
“Oh iya mbak, ngomong-ngomong ini jaketnya saya lepas dulu.”
“Gak usah, pakai aja dulu. Lain kali saja dikembalikan. Lagi pula suhu masih cukup dingin.”
“Beneran gapapa nih mbak, saya jadi nggak enak hati.”
“Iya gapapa, kalo gitu saya jalan duluan yah. Tempat les saya gak jauh dari kampus jadi saya biasa jalan sepulang kuliah ke rumah guru privat saya.”
“Iya mbak, hati-hati yah.”
“Duluan yah ukhti, assalamu’alaikum.” Ucap Mawaddah.
“Iya mbak, wa’alaikumsalam.” Balas Azzura.
Mawaddah mulai melangkahkan kakinya, Azzura melihat sosoknya yang begitu anggun dengan hijab biru tua yang membaluti tubuhnya. Perlahan-lahan Mawaddah mulai menghilang dari pandangannya, ia mulai menggenggam erat kedua lengan jaket yang ia kenakan. Ia merasa telah dipertemukan dengan seorang wanita luar biasa yang bisa membantunya berubah. Hingga akhirnya ia menyadari sesuatu.
“Eh, astaga. Aku lupa minta nomor handphone-nya.” Ucap Azzura.
“Gimana cara menghubungi mbak Mawaddah kalo begini? Gimana cara ngembalikan jaketnya?” Timpalnya lagi.
Seketika Azzura teringat ucapan Mawaddah, “Oh iya hehe, saya lupa. Ngomong-ngomong jangan panggil mbak dong, panggil aja Mawaddah. Saya mahasiswa semester 6 fakultas Kedokteran.”
“Fakultas kedokteran, semester 6 yah. Besok sepertinya aku harus keliling FK buat nyari mbak Mawaddah.” Ujarnya.
Akhirnya Azzura memutuskan untuk pulang ke rumah. Pertemuannya dengan Mawaddah hari ini bukanlah suatu kebetulan belaka. Azzura tak pernah sadar, kalau sesuatu yang luar biasa telah menantinya. Bersamaan dengan menghilangnya awan kelabu, skenario Allah untuk Azzura terus berjalan.
Penulis : Umar Abdurrauf
Posting Komentar