undefined
undefined
Unknown


Aku duduk terdiam di atas tempat tidurku, ku tarik nafas dan ku hela secara perlahan. Ku tatap nanar kaca jendela yang mulai di basahi rintik nikmat dari Sang Pencipta. Aku tersenyum seketika dan tanpa ku sadari air mata sudah membasahi jilbab besar ku yang menjulur menutupi aurat ku.

“Allah itu Maha Baik.” Ujarku secara perlahan.

Allah selalu tahu isi hati setiap hamba-Nya, begitu pula dengan hatiku. Awan kelabu dan suara rintikan hujan seakan menjadi latar dan simponi Qolbu ku saat ini. Entah aku harus senang atau sedih semua bercampur aduk menciptakan dilema di dalam hati.

Mungkin aku yang salah karena lalai dari peringatan-Nya. Hatiku terlalu jauh membawaku pergi melewati batasan yang telah ditentukan oleh-Nya.

”Ya Allah, ampunilah aku.” teriakku dalam hati.

Masih teringat jelas dalam benakku hari pertama aku melihatnya. 7 Tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Aku tak pernah menyangka bahwa pertemuanku dan dia akan menjadi sebuah duri dalam hatiku saat ini.

******                                                      

7 Tahun yang lalu aku hanyalah seorang gadis akhil baligh yang baru lulus dari Madrasah Tsanawiyah (MTs). Layaknya kebanyakan gadis di usiaku saat itu aku mulai mengalami masa-masa pancaroba yang wajib dilalui semua orang. Walaupun aku lulusan sekolah yang bertajuk islami, tapi tak mengartikanku sebagai pribadi yang demikian.

Setelah menerima surat kelulusan, aku menetapkan untuk melanjutkan pendidikan ke salah satu SMA Negeri dan Alhamdulillah, Allah mengabulkan doaku. Hari-hari awal disana ku lalui dengan biasa, masa MOS dan perkenalan berlangsung cukup menarik walau sedikit menjengkel kan.

Aku mengenal dirinya dari sebuah acara pengajian rutin yang di selenggarakan sebuah organisasi islami di sekolahku, atau yang lebih dikenal dengan ROHIS (Rohani Islam). Sosoknya begitu berwibawa, murah senyum, dan pendiam.

Pada awalnya aku memutuskan untuk ikut ROHIS agar bisa mengenalnya lebih jauh. Dia kakak kelas yang 2 tahun lebih tua dariku. Tak jarang saat itu aku sering mencuri-curi pandang terhadapnya. Namun tak sedikitpun ia memperhatikanku, kemanapun aku melihatnya berjalan, tatapannya selalu ditujukan pada tanah yang tak berdosa..

”Nih orang aneh banget sih, kalo jalan sambil ngukurin tanah.” ujar Zahra.
”Bukan ngukurin tanah, kakak itu lagi nyari koin. Siapa tau ada yang jatuh, kan lumayan hehehe..” jawabku ngawur

Bukan cuma aku, tak sedikit teman-teman yang masuk ROHIS hanya untuk memata-matai si kakak cuek ini. Yah, kakak cuek! Begitulah kami memanggilnya saat itu. Ia sama sekali tak menghiraukan perempuan yang mendekatinya, ia fokus pada kegiatan dan dirinya. Sombong, itulah yang pertama kali terlintas dalam fikiran teman-temanku.

Hanya ketika ROHIS mengadakan rapat atau acara tertentu, ia baru mau memperhatikan kami. Itupun hanya sebatas melihat amanah yang kami laksanakan. Bertanya dengan nada sedikit tegas, itu karena ia adalah Ketua ROHIS kami.

Awalnya aku kira kakak ini homo!! Karena sikapnya yang begitu dingin terhadap perempuan, namun begitu akrab dengan teman-teman sejenisnya. Tak sedikit pula teman-temanku yang patah hati karena mendapatkan ponolakan darinya, kakak-kakak senior kami mengatakan bahwa ia tak akan mau pacaran.

Aku mengerti alasannya, memang itu adalah alasan yang sangat wajar bagi orang sepertinya. Aku pernah mendengar desas-desus tentang haramnya pacaran di dalam islam. Terlebih dia begitu tekun mendalami agamanya, hingga ia mampu mengekang cintanya dalam penjara yang ku sebut kesabaran.

Suatu ketika aku memberanikan diri bertanya langsung padanya melalui sebuah sms. Aku sedikit malu, bertanya kepada seorang lelaki tentang ”apa itu cinta?”. awalnya aku mengira ia tak akan mau menjawab sms-ku, terlebih dari seorang yang mungkin nomornya asing.

Namun ternyata, ia menjawabnya dengan kalimat yang begitu indah.

”Cinta adalah sebuah fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, maka  sandarkanlah cinta hanya kepada Sang Maha Cinta. Sebelum engkau mencoba mencintai manusia, belajarlah mencintai-Nya, sebelum engkau mencoba membahagiakan manusia, bahagiakanlah diri-Nya.”

Entah apa yang ku rasakan saat itu, apakah perasaan yang ku rasakan terhadapnya adalah cinta ataukah hanya sebuah kekaguman yang berbalut nafsu dunia. Jika dibandingkan dengan dirinya aku bukanlah sosok wanita sholehah yang pantas dengan lelaki sepertinya. Aku ingin membalas smsnya, namun rasa malu menyelimuti hatiku.

Sejak hari itu aku mulai tertarik mempelajari agama, mencari tahu lebih dalam “apa itu cinta??”. Tanpa ku sangka semua itu mengubah hidupku, sedikit demi sedikit aku mulai rutin mengikuti kegiatan yang di adakan ROHIS dan perlahan aku mulai banyak belajar. Tanpa ku sadari hari demi hari berlalu, teman-teman bilang sikapku berubah. Lebih pendiam dan sering membaca buku-buku islami. Tak kalah dari itu penampilanku pun telah berubah. Kini jilbabku lebih besar dan menjulur indah, aku mulai percaya diri dan nyaman dengan penampilan baruku, walaupun ada saja kicauan-kicauan merdu yang menyinggung dengan penampilan baruku.

Wanita begitu istimewa, begitulah cara Allah menjaganya. Aku mulai perdalam ilmu ku dalam memaknai agama cinta-Nya. Bukan hanya penampilanku, tapi hidupku pun mulai berubah, mungkin aku tak akan tersadar akan perubahan itu jika saja ibuku tak mengatakannya.

Ibu bilang, sekarang aku lebih rajin dalam mengerjakan sholat lima waktu, rutin bertilawah dan ternyata ibuku diam-diam mengintipku ketika aku hendak melaksanakan sholat malam. Cara bicaraku yang dulunya berantakan perlahan berubah dan lebih terjaga.

Aku senang, perubahan ini mengukir senyum di wajah kedua orang tua ku. Saat itu aku tersadar akan sesuatu, sebuah kalimat yang membuat air mataku bercucur ria.”Ridho Allah terletak kepada ridho kedua orang tua.”

Hari itu aku mengerti, cinta yang ku miliki adalah milik-Nya dan hanya kepada-Nya lah aku menyerahkan cinta. Kebahagiaan yang dirasakan kedua orang tua ku adalah salah satu bentuk cinta-Nya. Cinta mengubah hidupku, cinta mengajarkanku taat kepada apa yang aku cintai, cinta mengajarkan ku berubah.

Kini aku mengerti defenisi cinta yang sesungguhnya, cinta yang murni hanyalah cinta yang di tujukan pada Sang Maha Cinta. Cinta kepada manusia tanpa disandarkan pada-Nya hanyalah sebuah nafsu semata.

Aku juga mulai mengerti, makna dari menundukkan pandangan yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya. Kini aku jadi ikut-ikutan disebut sebagai pengukur luas tanah atau si pencari koin. Sepertinya aku kena batunya karena pernah ngejek kakak itu di waktu yang lalu.

Hidupku berubah seiring dengan penampilanku, namun satu hal yang tak mampu ku ubah adalah kekagumanku padanya. Aku masih bertanya, apakah perasaan ini adalah sebuah cinta karena-Nya ataukah nafsu sahaja?

Ini adalah penghujung semester akhir, kekhawatiran mulai tertanam dalam hatiku. Perlahan tumbuh menjadi pohon keraguan yang berbuah kesalahan. Yah, mungkin itu adalah kesalahan terbesar yang pernahku lakukan. Saat itu aku tak tau setan apa yang menguasaiku, tanpa ku sadar aku mulai ragu dan tak yakin dengan janji-Nya.

Tak lebih dari setahun aku mengenalnya, namun ia membuatku banyak berubah. Membuatku semakin mendalami agama cinta-Nya. Jika dibandingkan dengan dirinya, pemahamanku masihlah jauh dibawahnya. Hatiku pun tak mantap seperti hatinya, imanku goyah tak sekokoh imannya. Aku takjub akan dirinya yang di usia muda memiliki kecintaan terhadap agamanya tak seperti kebanyakan lelaki seusianya.

Hari itu melalui sepucuk surat yang ku selipkan di sepeda motornya, ku nyatakan perasaanku. Ku ungkapkan betapa kagum aku pada dirinya, ku jelaskan rumitnya perasaanku, ku ceritakan perubahan yang ku lakukan untuk menjadi wanita yang baik untuknya, dan ku nyatakan betapa berharapnya aku menjadi bidadari surganya.

Aku tak tau entah apa ekspresi yang ia tampakkan saat ia membaca namaku di surat itu. Aku gelisah dan mulai resah dengan jawabannya, apakah ia juga mencintaiku?? Ku hapus pikiran konyol itu dari otakku.

Tiba-tiba handphone-ku berdering dan sebuah pesan masuk, aku terkejut itu darinya. Pertama dan terakhir kali aku mengirim sms padanya adalah saat aku bertanya ”Apa itu cinta?” dan saat itu aku tak memperkenalkan identitasku. Apa mungkin dia menyimpan nomorku? Atau ia memang tahu itu aku? Ku hapuskan pertanyaan-pertanyaan itu dan mulai ku baca isi sms nya.

Assalamu’alaikum,ukhti khansa.

Sungguh ana sangat tersanjung dengan surat yang ukhti berikan. Sungguh Allah Maha Cinta, mohon maafkan ana karena belum bisa menjawab pertanyaan ukhti.

Biarlah pada waktunya, Allah akan menjawab semua. Jika memang benar yang ukhti rasakan itu cinta, maka jagalah ia dalam indahnya diam, sebagaimana Fatimah menjaga cintanya untuk Ali.

Tetaplah berbenah diri, karena sungguh kekasih itu datang sesuai keimanan di hati, Allah telah berjanji dan Ia lah yang Maha Menepati Janji.

Jika memang Allah menakdirkan seperti yang ukhti harapkan, siapapun tak akan bisa menolaknya. Namun jika Allah menakdirkan tidak seperti yang ukhti harapkan, yakinlah Allah selalu memberikan yang terbaik buat hamba-Nya.

ALLAH MAHA BAIK

Semoga Allah selalu menjaga kita dalam naungan Cinta-Nya.

Sms panjang itu membuat hatiku bergetar, walau ku tau tak ada jawaban untuk perasaanku di dalamnya, namun kegelisahanku perlahan sirna. Aku merasa malu dan tak tau harus bersembunyi dimana, masih ada beberapa hari yang harusku lalui, dan aku harus berpapasan dengannya.

Ia begitu profesional dalam menjaga sebuah rahasia, tak ada satupun orang yang tahu tentang kejadian itu, termasuk teman-temanku. Setiap berpapasan denganku ia hanya melintas dan berlalu. Tak sedikitpun terlihat adanya hal yang berbeda dari biasanya, seolah tak pernah terjadi apa-apa.


Semua berlalu begitu saja, ia lulus dengan hasil yang luar biasa. Ia akan melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu Universitas ternama di Indonesia. Mendengarnya akan melanjutkan kuliah di luar kota, membuatku tak tau harus apa? Senang atau sedih? Namun semua itu ku jalani begitu saja. Aku hanya bisa berdoa kepada Allah untuk selalu menjaganya disana.

****

2 tahun berlalu, aku lulus dengan nilai yang melebihi harapanku. Aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di dalam kota, seperti keinginan orang tuaku yang khawatir bila aku jauh. Selama itu pula tak ada yang berubah dari hatiku, sempat ada beberapa lelaki yang mencoba mendekatiku, namun selalu berhasil ku hindari.

Selama di ROHIS aku belajar banyak dan semakin mengerti, kini aku hampir sepenuhnya paham setiap kalimat yang dulu pernah ia kirimkan. Dia hanya pernah 2 kali mengirimkan sms padaku, dan hingga hari ini sms itu masih tetap ada dalam file tersimpan Handphone ku.

ROHIS membuatku bertemu dengan seorang sahabat yang setia, Zahra. Pada awalnya kami berdua sama, sama-sama tak paham tentang agama, dan sama-sama suka pada orang yang sama. Namun, setelah kepergian kakak itu, Zahra tak pernah lagi membicarakan tentang dirinya, malah aku lah yang selalu membuka bahasan tentang dirinya.

Zahra menjadi tempat curhat setia ku, ia mau mendengarkan jeritan hatiku yang begitu mengharapkannya. Aku bahagia sekali memiliki sahabat yang setia di jalan yang sama, yakni jalan cinta-Nya.

Zahra juga banyak berubah. Pertama mengenalnya, ia tak mengenakan jilbab dan Alhamdulillah kini ia sudah mengenakan jilbab yang syar’i. Pemahamannya tentang agama pun cukup luas, bahkan tak jarang aku bertanya dan mendengarkan penjelasan darinya. Terkadang aku merasa ia lebih baik dari pada diriku. Terlebih lagi ia sudah hafal lebih dari 9 Juz, sementara aku hanya hafal 1 Juz, itupun Juz ‘Amma. Aku tak mau kalah darinya, aku juga ingin menjadi seorang hafizah Qur’an. Hehe..

Akhirnya aku dan Zahra harus berpisah, ia harus melanjutkan kuliahnya di luar kota. Ia ingin menjadi guru yang baik, itu cita-citanya, dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi tempat pilihannya. Walaupun jarak dan waktu menjadi tebing pemisah kami, namun ukhuwah di antara kami tetap terjaga, kami masih sering berbincang ria lewat telfon atau sms.



****

5 tahun ku habiskan waktuku, memperdalam ilmu disebuah universitas negeri di daerahku. Selama 5 tahun itu pula di setiap sujud malamku, selalu ku sempatkan untuk berdoa, menyebut namanya dalam kelam malam. Berharap Allah akan menyatukan kami dalam sebuah ikatan suci. Bahkan terkadang aku tersenyum sendiri menghayalkan pertemuan kami kembali.

Aku bergabung dengan sebuah organisasi islami disana, ku temui begitu banyak lelaki seperti dirinya, namun tetap saja perasaanku mengatakan dia istimewa. Bahkan sudah ada beberapa dari mereka yang mendatangi kedua orang tuaku, namun ayah dan ibuku selalu membiarkan aku yang menentukan. Tentu saja aku selalu mencari alasan untuk tak menerima khitbah mereka, masih ada seorang lelaki yang ku nantikan kehadirannya hingga kini.

Aku bingung kenapa aku menunggu? Ia tak pernah memberikan jawaban yang pasti padaku. Ia tak pernah memintaku untuk menunggunya. Hari ini saja, aku tak tau ia sedang apa dan dimana? Apakah ia masih hidup atau sudah tiada? Dan apakah ia sudah menikah atau belum? Semoga saja belum.

Hanyalah keyakinan yang membuatku bertahan, 7 tahun mencintainya bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula aku menunggu dan berharap. Berdoa dan selalu menyebut namanya.
Cinta adalah kepergian hati mencari yang dicinta, seraya lisan terus-menerus menyebut yang dicinta. lisan senantiasa menyebut yang dicinta, tak ragu lagi karena dirinya tengah dirundung cinta yang teramat sangat, maka ia akan banyak menyebutnya.

****

Hari ini semua penantianku telah terjawab, duduk di atas sebuah tempat tidur, aku menangis dalam senyuman, menatap nanar ke jendela yang sudah kuyup di penuhi tetesan hujan.

Layaknya langit yang tengah menangis, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada dirinya. Scene potongan kejadian masa lalu di pelupuk mataku sudah habis ku putar. Kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke benda di tanganku. Benda yang sedikit lebih tebal dari kertas, berwarna biru pemberian sahabat ku Zahra. Entahlah sudah berapa puluh kali aku membolak-balikkan benda itu, dan entahlah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak-balik karena melihat isinya.

Sebagai sahabat ini adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang sudah menunggu bertahun-tahun lamanya ini adalah kabar yang menyakitkan bagiku. Lalu dimana aku harus menempatkan diriku sendiri?? Butuh berapa lama aku untuk men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini?? Zahra adalah sahabatku dan lelaki itu adalah nama dalam doa ku.

Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduannya pada bumi. Aku melangkah gontai beranjak dari tempat tidurku, menghapus air mata yang sudah membasahi jilbab ku. Ku hela napas panjang dan tersenyum menatap langit diluar jendela.

Aku akan datang, menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara dia dan Zahra. Aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tindakan bodoh. Allah yang menakdirkan semua ini, berarti inilah yang terbaik untukku. Biar lah aku menelan semua pahit dan sakitnya perasaan ini dan biarkan waktu yang akan mencernanya. Karena aku tau, rasa sakit ini hanyalah bersifat sementara.

Sesungguhnya, Allah akan menggantinya dengan sebuah balasan yang nyata. Apakah penantianku sia-sia?? Tentu tidak, karena hari ini aku belajar ikhlas mencintai seseorang karena-Nya. Jika dulu aku memutuskan mencintainya dengan ikhlas, maka sekarangpun kehilangannya aku harus ikhlas.

Allah Maha Baik!! itulah yang ku pelajari dari dirinya. Ku tatap 2 buah pesan darinya yang 7 tahun lamanya sudah tersimpan di Handphone jadul ku, ku tarik napas panjang lalu ku hela perlahan seraya berkata.

”Allah Maha Baik.” Aku pun tersenyum menatap langit yang perlahan mulai memutih di balik jendela kamarku.


(Kirim kritik dan saran anda ke alamat di bawah ini atau komentar di bawahnya)

PENULIS                   : Abdurra'uf Hamdan Ridzky
TWITTER                   : @UmarAbdurrauf
FACEBOOK              : Umar Abdurrauf

0 Responses

Posting Komentar