Hubungan saling menghidupkan dan saling
mematikan antara pahlawan dan lingkungannya, antara tokoh dan
peradabannya akan melahirkan kenyataan ini: dalam sejarah setiap
peradaban, sebagian besar pahlawan muncul pada dua potongan masa, satu
pada masa kebangkitan, dan satu lagi pada masa kejayaan. Setelah itu,
datanglah masa keruntuhan: jaman kevakuman, jaman tanpa pahlawan, dan
jaman peradaban yang mandul.
Apakah yang terjadi pada jaman
kebangkitan? Apa pula yang terjadi pada jaman kejayaan? Marilah terlebih
dahulu kita memeriksa kenyataan sosial masyarakat manusia pada masa
kebangkitannya.
Kekuatan utama yang menggerakkan
masyarakat pada masa kebangkitan adalah kecemasan. Inilah mata air yang
memberikan mereka energi untuk bergerak dan bergerak, melangkah
tertatih-tatih sembari jatuh dan bangun, meraba dalam ketidakpastian.
Namun, mereka bergerak.
Mereka semua dirundung kecemasan; karena
jarak yang terbentang jauh antara idealisme dan realitas, antara harapan
dan kenyataan. Mereka ‘merasakan’ jarak yang terbentang jauh itu, maka
mereka menjadi cemas, dan kecemasan itulah yang menggerakakan mereka.
Boleh jadi, sebuah bangsa terjajah dan menderita, tetapi mereka ‘tidak
merasakannya’, maka mereka tidak cemas, maka mereka tidak bergerak.
Kenyataan inilah yang kita temukan pada
masa penjajahan dahulu. Bangsa Indonesia dijajah selama 350 tahun. Waktu
yang terlalu lama, kesabaran yang sungguh-sungguh luar biasa; sebab
penjajahan tidak selalu dirasakan sebagai penderitaan. Selama masamasa
yang pahit itu, ada banyak generasi yang merasa tidak sedang menghadapi
masalah tertentu, yang merasa bahwa bahwa hidupnya baik-baik saja.
Mereka mungkin orang-orang sholeh, bekerja, dan berkeluarga, tetapi
hidup di bawah kekuasaan penjajah, namun tidak merasakannya sebagai
sebuah masalah.
Itulah masalahnya. Senjang antara
penderitaan dan perasaan tentang penderitaan itu, sebagian orang
merasakannya, tetapi yang lain tidak merasakannya. Yang merasakannya
akan didera oleh kecemasan, yang tidak merasakannya akan bersikap dingin
terhadap penderitaan itu. Yang merasakannya biasanya akan bergerak,
biasanya juga akan menjadi pahlawan. Yang tidak merasakannya biasanya
orangorang awam, atau kolaborator penjajah, biasanya tidak akan
bergerak, sampai arus besar perlawanan datang menghanyutkan mereka.
Begitulah kita menyaksikan Cokroaminoto,
Agus Salim, dan para pejuang kemerdekaan bergerak melakukan perlawanan;
mereka merasakan kesenjangan itu, mereka cemas, maka mereka menjadi
pahlawan. Itulah yang terjadi di seluruh dunia Islam dan Dunia Ketiga
selama abad 20 lalu; munculnya para pahlawan kebangkitan, yang menemukan
gairah perlawanan dari kecemasan. Sebab, itulah potongan jaman mereka,
itu pula permintaan jaman mereka, dan itu pula kehendak jaman mereka.
Karena itulah, ada nama Abdul Hamid bin
Badis di Aljazair, Hasan Al Banna di Mesir, Al Kawakibi di Syria,
Izzudin Al Qassam di Palestina, dan demikian seterusnya.
Dan peluru - peluru muda BINTALIS SMA Negeri 15 Medan diharapkan juga merasakan kecemasan,
cemas terhadap lahan dakwah mereka, sehingga lahirlah pahlawan -
pahlawan baru, lahirlah teladan - teladan baru, yang dicintai yang
dikenal sebagai pribadi yang santun dan bersahaja :)
Posting Komentar