undefined
undefined
Unknown
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan
Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..

Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan
kecantikannya pada saat risalah yg dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah
maju dgn pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah
Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat
yg menggantungkan harapan ingin mempersun¬ting puteri Rasul Allah
s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar
telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu Nabi Muhammad s.a.w.
mengemukakan bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari
Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Umar Ibnul Kha¬tab r.a. dan
Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid
beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri
Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber¬tanya kepada Abu Bakar Ash
Shiddiq r.a.: “Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu
kepada Ali bin Abi Thalib?”
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak utk
menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu
Bakar Ash Shiddiq r.a. dgn tergopoh-¬gopoh dan terperanjat ia
menyambutnya kemudian bertanya: “Anda datang membawa berita apa?”
Setelah duduk beristirahat sejenak Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera
menjelaskan persoalannya: “Hai Ali engkau ada¬lah orang pertama yg
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lbh
dibanding dgn orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian
pula engkau ada¬lah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat
terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau utk dapat
mem¬persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya di¬tolak.
Beliau mengemukakan bahwa persoalan puterinya diserah¬kan kepada Allah
s.w.t. Akan tetapi hai Ali apa sebab hingga se¬karang engkau belum
pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak
melamar utk dirimu sendiri? Ku¬harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan
menahan puteri itu un¬tukmu.”
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. ber¬linang-linang.
Menanggapi kata-kata itu Imam Ali r.a. berkata: “Hai Abu Bakar anda
telah membuat hatiku goncang yg se¬mulanya tenang. Anda telah
mengingatkan sesuatu yg sudah kulupakan. Demi Allah aku memang
menghendaki Fatimah tetapi yg menjadi penghalang satu-satunya bagiku
ialah ka¬rena aku tidak mempunyai apa-apa.”
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yg memelas itu. Untuk
membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a. Abu Bakar r.a. berkata:
“Hai Ali janganlah engkau ber¬kata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya
dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”
Setelah berlangsung dialog seperlunya Abu Bakar r.a. ber¬hasil mendorong
keberanian Imam Ali r.a. utk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah
s.a.w. yg ketika itu sedang berada di tempat ke¬diaman Ummu Salmah.
Mendengar pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah
s.a.w.: “Siapakah yg me¬ngetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab:
“Bangunlah dan bu¬kakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan
Rasul-¬Nya dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku orang kesayanganku!” jawab Nabi Mu¬hammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian hari
mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a.
kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke
pintu sampai kakiku ter¬antuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang
yg datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat
semula. Ia masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah
s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib
menundukkan kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak
mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya eng¬kau mempunyai
suatu keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg
engkau perlukan akan kauperoleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yg demikian itu lahirlah
keberanian Ali bin Abi Thalib utk berkata: “Maafkan¬lah ya Rasul Allah.
Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda Abu
Thalib dan bibi anda Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak-kanak
dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan
anda ya Rasul Allah adl tempat aku bernaung dan anda jugalah yg menjadi
wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan
sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang
isteri. Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah.
Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn
dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah Rasul Allah
nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi
Thalib: “Hai Ali apakah engkau mem¬punyai suatu bekal maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus terang “Anda sendiri
mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yg tidak
anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi
sebilah pedang dan seekor unta.”
“Tentang pedangmu itu” kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali
bin Abi Thalib “engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan
di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil
air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan
jauh. Oleh ka¬rena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar
maska¬win sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari
ta¬nganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wa¬jalla
sebenarnya sudah lbh dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku
menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi riwa¬yat yg diceritakan Ummu
Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap dgn perasaan puas dan hati gembira dgn
disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata
ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwa¬sanya Allah s.w.t. memerintahkan
aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham .
Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.

Kisah ini disampaikan disini, bukan untuk membuat kita menjadi
mendayu-dayu atau romantis-romantisan. Kisah ini disampaikan agar kita
bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya
telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Bukan hanya namanya yg tak
tersebutkan, bahkan gejolak hatipun tak ada yang tau. Remaja mana yg
hatinya tak pernah bergejolak krn cinta. Tapi bagi Ali dan Fatimah,
mereka tak mau cinta yg lain membesar melebihi cintanya pada Allah.
Pernikahan adalah utk melengkapi ibadah, karena itu Ali akhirnya melamar
Fatimah.
Lalu jika dirinya sendiri tak ingin hatinya bergejolak sedemikian rupa, bagaimana orang lain bisa tau dia sedang jatuh cinta.
Mungkin jargon “Biarkan indah pada waktunya” sudah sering kita
dengar, bagaimana kl skrg kita tambah dg “Biarkan kejutan sebagai part
terindahnya”.
Ahh.. indahnya cinta.. (ababil banget bahasa penutupnya, ahahaha)
Posting Komentar