Unknown
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatu.” Sapa Clara yang bertugas sebagai pembawa acara pada kemuslimahan jum’at itu.

Suasana yang ramai penuh dengan keceriaan dan kegembiaraan terpancar jelas di ruangan auditorium fakultas kedokteran. Meski baru pertama kali Azzura berada di tempat ini, ia tak merasakan adanya ketidaknyamanan di dalam hatinya. Berkali-kali ia asyik merapikan hijab hitam yang ia kenakan, khawatir jika rusak atau tidak cocok di kepalanya. Ia merasa begitu berbeda, hanya dengan sebalut kain hitam yang ia kenakan membuatnya merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan.

Setelah sama-sama membuka kegiatan mingguan itu dengan melafazkan basmallah, seorang wanita berjilbab kuning berhiaskan cadar hitam melangkah maju ke atas panggung. Azzura tentu tidak asing karena baru beberapa waktu yang lalu ia berkenalan dengan wanita bernama Nadira itu. Nadira duduk di atas sajadah yang di depannya ada sebuah rehal dengan Al-Qur’an di atasnya. Azzura masih memperhatikan wanita pemiliki mata yang indah itu. Tiba-tiba di hadapan begitu banyak mahasiswi, Nadira melepaskan cadarnya dan mulai membacakan lantunan suci ayat Al-Qur’an. Suaranya begitu merdu melantunkan ayat-ayat Allah, menggetarkan hati setiap pendengar di ruangan itu.

Azzura terpesona melihat Nadira yang berada di hadapannya begitu fasih melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ia terlihat begitu anggun, menawan, dan lebih mempesona dari pada kebanyakan perempuan yang sering ia temui. Setiap bacaan Nadira menggetarkan jiwanya. Sekali lagi, air mata Azzura mengalir membasahi hijab hitam yang ia kenakan, rasa takjubnya pada Nadira membuatnya terharu. Terpercik di hatinya segelintir rasa iri dan cemburu, ingin rasanya ia bisa melantunkan Al-Qur’an seperti itu. Tiba-tiba Azzura teringat, ia pernah merasakan perasaan yang sama seperti yang dia rasakan saat ini. Perasaan iri dan cemburu karena lantunan suci yang begitu merdu, tapi dimana dan kapan? Tanya Azzura membatin. 

 “Shadaqallahul ‘adzhiim.” Nadira mengakhiri bacaannya. 

“Begitu indah dan menggetarkan jiwa, andai aja saya juga bisa begitu.” Sahut Azzura sembari menyeka air matanya. Betapa tulus Azzura mengutarakan hal itu, seperti kalimat yang terlahir murni dari lubuk hati yang paling dalam. Hingga tiba-tiba ia tersadar bahwa Syila dari tadi memperhatikannya. 

“Subhanallah, luar biasa yah?” Ujar Syila yang duduk menemani Azzura dari tadi. 

“Eeeh, maaf saya gak bermaksud me...” belum sempat Azzura menyelesaikan ucapannya. 

“Kamu mau belajar?” Tanya Syila. “Saya juga masih belajar, Nadira, Mbak Clara, dan Mbak Mawaddah sering mengajari saya. Nadira pasti bakal senang jika kamu mau belajar membaca Al-Qur’an padanya.” Sambung Syila. 
“A-apa boleh saya belajar?” Tanya Azzura balik. 
 
“Kenapa enggak? Kalo mbak Mawaddah tau kamu mau belajar baca Al-Qur’an, dia pasti bakalan senang banget.” 

“Ta-tapi aku gak bisa baca Al-Qur’an. Mungkin bisa tapi masih terbata-bata. Dulu ketika kecil ibuku sempat mengajariku, sewaktu aku SMP ibu juga memaksaku belajar baca Al-Qur’an dengan seorang guru ngaji, tetapi aku sering menangis dan merengek ketika diantar ibu ke rumah guru ngaji itu. Waktu SMA aku punya teman yang mau mengajariku tetapi ia pergi. Dan sejak ibuku meninggal, tak ada lagi yang mengajariku.” 

“Jangan khawatir. Nadira, saya, mbak Clara, dan mbak Mawaddah dengan senang hati akan mengajarimu dari hal yang paling dasar sampai kamu bisa lancar.” 

“Benarkah??” Tanya Azzura semringah. 

“Yap, tentu saja.” Jawab Syila dengan senyum percaya diri. 

“Oh iya, saya boleh manggil Syila aja kan?” Tanya Azzura. 

“Boleh dong, kita kan seumuran.” Balas Syila tersenyum. 

“Kalo boleh nanya lagi, kenapa yah Nadira pakai penutup wajah? Saya lihat sebagian dari wanita-wanita yang ada disini juga memakainya. Dan kenapa tadi ketika membaca Al-Qur’an Nadira membukanya? Apakah harus seperti itu?” Azzura menghujani Syila dengan banyak pertanyaan. 

“Yang Nadira kenakan itu namanya Niqab, dalam bahasa Indonesia biasa disebut cadar. Itu merupakan budaya di zaman Rasulullah, karena wanita-wanita bangsa Arab hidup di negeri yang tandus penuh dengan padang pasir, suhu disana juga sangat panas. Pemakaian niqab sangat bermanfaat disana. Hal itu menjadi sunnah bagi kita wanita muslimah, tetapi tidak menjadi suatu kewajiban. Karena di dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan kita para wanita untuk menutupi aurat kita, kecuali pergelangan tangan dan juga wajah. Yang artinya, wajah tidak wajib di tutupi dengan niqab. Banyak yang beralasan itu hanyalah budaya bangsa Arab, sehingga mereka menentang pemakaiannya di Indonesia. Tapi budaya siapa lagi yang harus kita contoh jika bukan budaya rasul kita? Budaya asing? Dan kenapa Nadira melepas niqab-nya? Karena di ruangan ini perempuan semua, dia juga ingin teman-teman shalihah-nya mengetahui seperti apa rupanya, selain itu suaranya akan terdengar lebih baik di microfon.” Jelas Syila panjang lebar. 

“Maaf nih, jadi kepanjangan. Saya harap kamu ngerti dengan yang saya jelaskan.” Sambung Syila. 

“Ngerti, meski ada istilah yang masih membingungkan dan baru pertama kali saya dengar. Hehehe, maaf yah. Pengetahuan saya tentang agama memang sangat minim.” Jawab Azzura sedikit tersindir karena penampilannya yang mengikuti budaya asing. 

“Gapapa, saya senang bisa menjawab pertanyaan kamu. Kalo kamu ada pertanyaan lagi silahkan tanya aja.” 

“Nah, ini si Nadira datang. Kebetulan banget, kamu bisa tanyakan langsung apa alasan dia memakai niqab.” Sambung Syila melihat Nadira yang berjalan ke arah mereka.

Mata Azzura terpesona dengan kecantikan yang terpancar dari wajah Nadira, tak salah dugaannya menerka rupa di balik cadar Nadira hanya dari melihat bola matanya. Wajahnya yang oval dengan dagu yang lancip, bibir yang tipis dan hidung yang mancung, serasi dengan matanya yang bundar dan menawan. Kulit Nadira yang putih bersih terjaga dibalik cadar yang ia kenakan selama ini. Nadira berjalan semakin dekat ke arah mereka, ia masih belum mengenakan niqab-nya.  

“Kamu gapapa?”, “Nadira, panggil aja Nadira.”, “Jangan meratapi kepergiaannya, do’akan ia, jadilah anak yang shalihah, karena sesungguhnya kamu masih bisa memberi ibumu surga.”, Tiba-tiba sebersit memory masa lalu terlintas di ingatan Azzura. Perlahan-lahan sosok gadis yang mengucapkan semua kalimat itu mulai terlihat jelas di benaknya. Gadis berkerudung putih, mengenakan seragam putih abu-abu yang pernah hadir dalam kehidupannya di masa lalu. Ketika Nadira tiba di hadapan mereka, Azzura spontan berkata. 

“Kamu?!” “Hai Azzura, sepertinya kamu sudah mengingatku.” Sahut Nadira dengan senyum tipis yang telah lama tak pernah Azzura lihat. 

“Nadira Keisha Almira Adzkiya Safira Nur Khadijah.” Seketika mulut Azzura fasih mengucapkan nama lengkap Nadira yang sudah begitu lama ia lupakan. 

“Ternyata kamu masih ingat namaku.” Ujar Nadira sambil tersenyum, matanya berkaca-kaca memperhatikan wajah Azzura yang mengenakan hijab pemberiannya. 

“Loh.. loh.. loh, tunggu sebentar, ternyata kalian udah saling kenal?” Sambung Syila memotong pembicaraan mereka. 

“Azzura, hebat banget kamu bisa hafal nama lengkap Nadira seperti itu.” Sambungnya lagi. 

“Ka-kamu beneran Nadira? Nadira yang itu?” Tanya Azzura mengabaikan perkataan Syila. 

“Iya, sudah lama ya. Tak terasa tiga tahun berlalu sejak saat itu. Aku senang bisa bertemu denganmu lagi dalam situasi seperti ini.” Jawab Nadira. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Azzura langsung berdiri dan mendekap tubuh Nadira yang mungil. Bagaimana bisa ia melupakan seorang sahabatnya yang dulu selalu ada untuk dirinya. 

Sontak seluruh mata peserta kegiatan itu tertuju kepada mereka, bahkan Mawaddah dan Clara yang berada di atas panggung juga melihat ke arah mereka. Dalam waktu singkat mereka berdua menjadi pusat perhatian di ruangan itu. Nadira membalas pelukan Azzura, mengabaikan semua mata yang tertuju pada mereka. 

“Subhanallah, indahnya ukhuwah islamiyah kita, wahai ukhti-ukhti cantik yang dirahmati Allah. Lihatlah betapa kuat kasih sayang yang terpancarkan dari pelukan kedua orang saudari kita itu.” Sepontan Mawaddah mengambil mic dan berbicara kepada para peserta. 

Seketika itu Azzura sadar, kalau ternyata tindakannya telah mencuri banyak perhatian. Ia pun tertunduk malu. Perasaannya terlihat jelas dari wajahnya yang memerah di hadapan Nadira. “Ayo duduk.” Ucap Nadira. Azzura langsung kembali duduk dan Nadira duduk di sebelahnya, masih 
banyak curahan perasaan yang ingin Azzura lontarkan kepada Nadira. Tetapi ia merasa malu jika menganggu jalannya kegiatan yang baru pertama kali diikutinya. 

Acarapun dilanjutkan, Mawaddah dipersilahkan menyampaikan materi tausiyahnya. Azzura semakin terpukau melihat sosok Mawaddah yang berdiri di atas panggung, menyampaikan seruan-seruan Allah kepada para muslimah yang berada di ruangan itu. Intonasi yang selaras dengan ekspresi membuat materi yang disampaikan oleh Mawaddah terserap ke dalam hati Azzura. Dan dengan kembalinya Nadira dalam kehidupannya, semakin memantapkan dirinya untuk mulai mengenakan jilbab menjalankan kewajibannya. 


*************************


Lebih dari tiga tahun yang lalu, tahun 2006 saat Azzura duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah atas. Hari itu langit begitu mendung, hari senin yang menjadi hari terburuk di masa SMA-nya. Azzura saat itu dilabrak oleh beberapa orang senior di dalam kelas, keributan terjadi dan siswa-siswi mulai mengerumuni mereka. 

“Lho itu jadi cewek gak usah kegatelan yah!!” Bentak seorang senior bernama Rizka kepada Azzura. 

“Maksud lho ngomong kek gitu apa?!” Jawab Azzura tak mau kalah. 

“Alah, gak usah belagak bodoh deh lho. Gak usah pura-pura polos. Lho itu cewek centil yang sok populer dan suka gangguin pacar orang!” Balas Rizka 

“Dasar cewek gak tau malu!” Timpal rekan Rizka dari belakang. 

“Cewek murahan. Centil dan suka gangguin pacar orang!” Timpal rekan Rizka yang lainnya. 

“Maksud kalian apa ngomong seperti itu?!” Bentak Azzura emosi karena dihina. 

“Lho kan yang gangguin pacar gue?!” Bentak Rizka. 

“Gue gak tau siapa pacar lho. Dan gue gak pernah ngerasa ganggu pacar orang.” Balas Azzura. 

“Halaah, gak usah sok bego lho. Elo gangguin pacar gue Arsyad kan?” Sontak Azzura terdiam mendengar gadis itu menyebut nama Arsyad di hadapannya. 

Ia tak pernah tau kalau ternyata gadis di hadapannya itu adalah pacar Arsyad. Tanpa melakukan perlawanan lagi, Azzura hanya diam dan menerima hinaan senior-seniornya yang tak bermoral itu. Mereka mendorong Azzura hingga terjatuh di hadapan banyak orang, tak seorangpun yang datang menolongnya, padahal ia mengira ia memiliki banyak teman. Rizka dan gerombolannya mulai semakin liar karena melihat Azzura tak melawan, mereka menganggap diamnya sebagai pembenaran semua ucapan mereka. Mereka menjambak rambutnya, mendorongnya hingga jatuh, lalu menarik kemejanya hingga Azzura berdiri tak berdaya. Tiba-tiba suasana itu pecah oleh kehadiran Arsyad di tengah-tengah mereka. Hari itu Azzura gak akan pernah lupa perkataan Arsyad, “Azzura, sorry yah. Kita temenan aja, aku dan dia udah jadian sejak bulan lalu.” 

“Oh!, selamat deh untuk kalian. Mati aja lho semua!!” Setelah mendengar ucapan lelaki itu, Azzura sendiri tak sadar dengan apa yang dia ucapkan, matanya yang berpaling dari Arsyad memancarkan kebencian dan kekecewaan. 

“Apa lho bilang?!” Bentak Rizka seraya mengayunkan tangannya ke arah pipi Azzura. 

“Plaaakk!!!” Rizka menerima tamparan telak dari seorang gadis berjilbab putih. 

Pipinya terasa perih sebelum tangannya sempat mendaratkan tamparan di pipi Azzura. Semua mata langsung tertuju pada gadis itu, tak ada yang berkomentar, bahkan Arsyad tak sempat untuk membela pacarnya. Mereka semua kenal siapa gadis berjilbab itu, seorang anak berprestasi yang selalu menjadi kebanggaan sekolah. Seorang anak perempuan yang pendiam dan jarang berbicara dengan teman-teman di kelasnya. 

“Apa lho keberatan, jika gue minta lho bawa pacar lho dan gerombolan temannya ini pergi?!” Ujar Nadira dengan tatapan tajam kepada Arsyad. 

“Apa lho bangga dengan kelakuan memalukan pacar lho ini?” Timpalnya lagi. 

“Dan untukmu perempuan tak beradab. Sebaiknya kau jilat ludahmu sendiri, karena semua mata disini adalah saksi perbuatan dan sikapmu. Kami semua tau, siapa cewek centil, kegatelan, dan cewek murahan yang sebenarnya. Pergilah!! Enyah dari pandanganku. Sebelum aku membuatmu lebih malu.” Kata-kata pedas dari mulut Nadira bagaikan hipnotis yang membuat seluruh kerumunan berbisik-bisik dan membenarkan ucapannya. 

“Pergi !!!” Bentak Nadira dengan ekspresi wajah emosi yang tak pernah siswa-siswi lihat sebelumnya. 

“Kamu gapapa?” Tanya Nadira lembut kepada Azzura. 

Nadira dikenal sebagai anak yang pendiam, ia sangat sedikit berbicara dan bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Sikapnya yang cuek dan nada bicaranya yang datar menumbuhkan kesan ketus dan tomboy pada dirinya. Meskipun begitu, prestasi dan juga kecerdasannya menjadikannya siswa populer yang selalu membawa nama sekolah menjuarai berbagai olimpiade nasional. Karena sifatnya yang pendiam dan terbilang cuek terhadap lingkungan, menumbuhkan rasa segan dikalangan siswa-siswi ketika melihat dirinya. Seperti ada kelas tersendiri yang memang Nadira miliki karena sifat dan juga prestasinya. Hal itu pula yang membuat seluruh siswa yang menyaksikan fenomena itu menjadi tercengang ketika melihat Nadira marah untuk pertama kalinya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu tajam, seperti ucapan orang dewasa, penuh dengan analisis dari kejadian yang dia amati. Tak ada yang berani menyangkalnya, karena semua yang ia katakan adalah kebenaran. Seperti kata pepatah, salah satu hal yang perlu kau waspadai adalah marahnya orang yang diam. Benar-benar istilah yang tepat untuk menggambarkan kejadian saat itu. 

Nadira yang dikenal pendiam, kini menunjukkan sifatnya yang tersembunyi. Cibiran-cibiran mulai terlontar dari mulut para siswa di kelas, bagai tombak yang menghujani segerombolan gadis yang tak tahu malu itu. Seketika terlihat wajah pucat penuh rasa malu dari mereka, mungkin inilah yang disebut hukum sosial, dimana massa adalah penghakim mutlak. Dengan menahan rasa malu di wajah mereka, segerombolan gadis yang tadinya mem-bully Azzura berlari meninggalkan kerumunan. Arsyad yang saat itu tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa diam melihat Rizka berlari meninggalkannya. Awalnya ia juga ingin segera pergi meninggalkan kerumunan itu, tapi tiba-tiba. 

“Tunggu!!” Teriak gadis bertubuh mungil itu. 

“Lho kira, lho bisa pergi gitu aja?!” Ujar Nadira menghentikan langkah Arsyad. 

“Lho itu laki-laki berkelamin perempuan ya? Setelah mempermalukan seorang cewek di hadapan orang banyak. Lho kira, lho bisa lari sesuka hati lho! Gue minta sama lho untuk minta maaf ke cewek ini sekarang juga!!” 

“Iya, minta maaf !!”, “Dasar banci!”, “Cowok gak tau malu!”, Terdengar celotehan-celotehan dari kerumunan yang mulai menghakimi Arsyad. 

Tak sempat Arsyad mengucapkan kata maaf, Azzura berlari membawa tasnya meninggalkan kelas. Dan tiba-tiba guru datang dan menengahi semua permasalah yang terjadi. Nadira adalah orang yang sangat baik di mata guru-guru, mereka percaya semua yang dikatakannya adalah benar. Nadira yang menyaksikan kejadian itu dari awal, menceritakan kepada guru tentang betapa memalukannya perbuatan seniornya itu. Keesokan harinya, siswi-siswi senior yang terlibat dalam kejadian itu dipanggil ke ruang guru, tentu saja Arsyad tidak terlepas dari aduan Nadira. Akhirnya mereka semua diskors dan diperintahkan untuk minta maaf kepada Azzura. Tetapi ternyata ia tidak masuk sekolah hari itu. Seminggu berlalu dan masih tak terlihat sosok Azzura di bangku kelasnya. Nadira masih terus mengamati ketidakhadiran Azzura. Nadira duduk di bangku pojokan paling belakang, ia lebih nyaman duduk disana ketimbang di depan kelas. 

Sebenarnya sudah sejak lama Nadira memperhatikan tingkah laku teman-temannya dari kursi paling pojok itu. Hanya saja sifatnya yang cuek membuatnya lebih banyak diam dan sedikit bersosialisasi. Pemikirannya sudah seperti orang dewasa diusianya yang terbilang sangat muda. Mengamati perilaku temannya dan mengklasifikasikan mereka ke dalam kelompok anak baik dan anak nakal. Dalam pengamatannya Azzura adalah anak yang baik, ceria, dan juga populer. Tetapi banyak siswa yang memanfaatkan sifatnya yang baik . Tapi ia tak pernah menduga kalau Allah memiliki skenario antara dirinya dan Azzura. 

Sudah seminggu berlalu dan Nadira tak melihat Azzura duduk di bangkunya, surat izin setiap hari selalu memenuhi absennya. Nadira merasa dirinya telah terlibat terlalu jauh dalam masalah itu, ia merasa harus bertanggung jawab dan menemui Azzura. Hari itu, sepulang sekolah untuk pertama kalinya Azzura menerima tamu seorang teman dari sekolahnya. 

“Assalamu’alaikum.” Ujar Nadira di depan pintu gerbang rumah Azzura. 

“Wa’alaikumsalam.” Jawab seorang laki-laki paruh baya berseragam hitam. 

“Azzuranya ada, pak?” Tanya Nadira. 

“Oh non Zura? Ada dek. Adek ini temennya ya?” 

“Iya pak.” 

“Masuk dek, biar saya panggilkan non Zuranya.” 

Nadira masuk ke dalam rumah besar bercat putih itu, ruang tamu yang megah berhiaskan furniture yang mewah menambah kesan elegan bagi yang melihatnya. Tapi bagi Nadira semua itu biasa saja, tak terlihat raut kagum atau takjub di wajahnya. 

“Temannya Zura yah?” Tanya seorang wanita berjilbab ungu yang mendekatinya. 

“Iya tante, perkenalkan nama saya Nadira. Saya teman sekelasnya Azzura, sudah seminggu dia tidak masuk sekolah. Jadi saya pikir dia sakit, saya datang kemari untuk menjenguknya.” Jawab Nadira dengan nada yang lembut dan santun. 

“Sebentar ya, tante panggilkan Zuranya dulu. Dia akhir-akhir ini sering mengurung diri di kamar. Tante khawatir kalau dia kenapa-kenapa, dia gak mau pergi sekolah dan dia gak mau bercerita apa-apa ke tante.” “Iya tante, saya tunggu.” 

“Silahkan duduk. Sebentar ya tante ke kamarnya dulu.” 

Mama Azzura pergi ke lantai atas untuk memberitahukan kedatangan Nadira. 

“Tok.. tok.. tok.. Azzura, ada teman kamu datang tuh, dia sedang menunggu kamu di bawah.” Ujar Mamanya. 

“Teman? Siapa? Aku gak punya teman? Suruh aja dia pulang!” Jawab Azzura. 

“Namanya Nadira, dia bilang dia itu teman sekelas kamu. Masa kamu gak kenal.” Saat itu juga Azzura mulai mengingat-ngingat nama Nadira di pikirannya. Dan akhirnya dia ingat sosok gadis kecil berjilbab putih yang membelanya habis-habisan ketika kejadian tempo hari. 

Azzura masih merasa malu karena diperlakukan seperti itu, ia tak mengenal Nadira meskipun ia tahu Nadira adalah teman sekelasnya. “Suruh aja dia pulang!” Sahut Azzura dari dalam kamar. 

Mama Azzura pun turun mengitari anak tangga menuju ruang tamu. Disana ada Nadira yang tengah duduk sambil memegang sebuah Al-Qur’an di tangannya. Mama Azzura seketika kagum dengan anak perempuan itu, “Ternyata anakku punya seorang teman yang baik di sekolah.” Ucapnya dalam hati. 

“Aduuh, maaf yah Nadira. Sepertinya Azzuranya gak mau keluar kamar.” Sahut Mama Azzura menghentikan bacaan Al-Qur’an Nadira. 

“Eh, gapapa kok tante. Kalo emang Azzuranya gak mau ketemu, Nadira pulang aja.” Jawabnya seraya berdiri menghargai tuan pemilik rumah itu. 

“Jangan, kamu jangan pulang dulu. Sepertinya Azzura gak mau keluar karena tante yang manggil, gimana kalo kamu aja yang ke kamarnya Azzura.” Ujar wanita berjilbab ungu itu. 

“Boleh tante, kamarnya Azzura yang mana ya? Atau tante bisa sekalian ikut aja ke kamarnya Azzura.” Sahut Nadira. 

“Itu yang di lantai dua, pintu pertama setelah melewati tangga. Gak usah deh, tante gak usah ikut. Lagiankan ini urusan anak remaja, jadi tante yakin kalian butuh privasi.” Jawab Mama Azzura. 

“Ah, tante bisa aja deh, kalo gitu saya izin ke atas dulu ya tante, permisi.” Nadira akhirnya memutuskan untuk mendatangi kamar Azzura. Setelah menyusuri beberapa anak tangga akhirnya dia tiba di hadapan pintu coklat dengan sebuah kertas yang tergantung bertuliskan Don’t Disturb.

“Assalamu’alaikum, ini aku Nadira teman sekelas kamu. Aku yakin kamu pasti tau siapa aku.” Ujar Nadira. 

“Buat apa kamu kemari? Pergi sana!” Jawab suara dari balik pintu. 

“Ada hal yang ingin ku bicarakan denganmu, boleh aku masuk.” Tanya Nadira. 

“Sudah kubilang pergi, buat apa kamu disini?” Jawab Azzura sekali lagi. 

“Nih anak ngeselin banget yah.” Ucap Nadira pelan. 

“Aku dengar!” Teriak Azzura. 

“Idiih padahal ngomongnya pelan, tapi bisa ke dengeran.” 

“Pergi sana! Jangan ganggu aku.” 

“Kamu izinin aku masuk atau kuadukan semua yang terjadi ke mamamu.” Ancam Nadira. 

Seketika Azzura membuka pintu kamarnya, terlihat sosoknya yang berantakan dari sela-sela pintu yang terbuka. “Dasar, tukang ngadu.” Ujar Azzura kesal. 

“Boleh aku masuk?” Tanya Nadira. 

“Yaudah buruan masuk.” Nadira pun tak membuang kesempatan itu dan masuk ke dalam kamar Azzura. 

Ia melihat tempat tidur yang berantakan dan buku-buku yang berserakan. Ruangan kamar itu cukup besar untuk ia tinggali sendiri, tapi cukup berantakan untuk disebut kamar anak cewek. "ini kamar atau tempat sampah? berantakan banget!" Nadira membatin.

Azzura segera duduk di atas tempat tidurnya sambil memeluk boneka bantal di pangkuannya. 

“Kenapa kamu kesini?” Tanya Azzura sinis. 

“Kenapa kamu gak masuk sekolah?” Tanya Nadira mengabaikan pertanyaan Azzura. 

“Aku duluan nanya, jangan nanya balik dong.” Jawab Azzura kesal 

“Boleh aku duduk?” Tanya Nadira. 

“Yaudah duduk.” Jawab Azzura ketus. 

Nadira duduk tepat di sebelah Azzura, ia meletakkan tasnya dan kemudian mengambil Al-Qur’an yang tadinya telah ia simpan. Azzura seketika tertegun melihat Nadira mengambil Al-Qur’an. Ia berpikir Nadira mau me-ruqiyah dirinya seperti acara-acara di televisi. Nadira tak memperdulikan Azzura yang duduk di sampingnya, ia mulai membuka selebaran-selebaran Al-Qur’an. Azzura terus memperhatikan gerak-gerik Nadira, ia khawatir Nadira akan segera membuatnya kesurupan seperti acara televisi yang ia tonton.  

“A’uudzu billahi minasy syaithaanir rajiim.” 
“Bismillahir rahmaanir rahiim.” 
“Ar rahmaan.” 
“ ‘allamalqur-aan.” 
“Khalaqal insaan.” 
“‘allamahul bayaan.” 
“Asy syamsu wal qamaru bi husbaan.” 
“Wan najmu wasy syajaru yasjudaan.” 
“Was samaa-a rafa’ahaa wa wadha’al miizaan.”
“Alla tathghau fil miizaan.” 
“Wa aqiimul wazna bil qisthi wa laa tukhsirul miizaan.” 
“Wal ardha wadha’ahaa lil anaam.” 
“Fiihaa faakihatuw wan nakhlu dzaatul akmaam.” 
“Wal habbu dzul ‘ashfi war raihaan.” 
“Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan.” 
“Khalaqal insaana min shalshaalin kal fakhkhaar.” 
“Wa khalaqal jaanna min maarijim min naar.” 
“Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan.” 
“Rabbul masyriqaini wa rabbul maghribain.” 
“Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan.”  

Nadira terus membacakan surah yang mulia itu di hadapan Azzura. Tanpa berkomentar dan berniat menghentikan bacaan Nadira, Azzura hanya duduk diam mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang merdu dari Nadira. Bulu kuduknya merinding, jiwanya bergetar, dan tanpa Azzura sadari lantunan ayat-ayat itu membawa ketenangan di dalam hatinya. Nadira pun mengakhiri surah Ar-Rahmaan yang ia baca, “Shadaqallahul ‘adzhiim.” 

“Hei, kok diam aja?” Tanya Nadira mengagetkan Azzura. 

“Eeh! gapapa. Suara kamu bagus ya, kamu bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar.” Jawab Azzura. 

“Itu tidak penting. Bagaimana perasaanmu? Masih emosi?” Tanya Nadira sekali lagi. 
Akhirnya Azzura sadar emosi dan rasa kesal yang terbalut di hatinya telah memudar mendengarkan bacaan dari Nadira. Ia takjub dengan bacaan Nadira yang merdu dan bagus, ia merasa ingin mendengarkannya sekali lagi. 

“Aku sudah sedikit lebih tenang sekarang.” Jawab Azzura. 

“Syukurlah, sekarang aku juga bisa lebih tenang dan tak perlu lagi mengkhawatirkanmu.” 

“Boleh aku tanya sekali lagi?” Tanya Azzura. 

“Apa itu?” 

“Kenapa kamu mau datang kesini?” 

“Tidak ada alasan khusus, kau adalah temanku. Itu saja.” Jawab Nadira. 

“Teman?!” Tanya Azzura heran. 

“Iya teman, emangnya kenapa?” 

“Tidak, tak apa-apa. Hanya saja semua orang yang memanggilku teman hanya mencoba untuk memanfaatkan kepopuleranku dan memanfaatkan uang saku milikku.” Jawab Azzura. 

“Ternyata kamu juga menyadari mereka?” Sahut Nadira. 

“Kukira kamu sangat bodoh untuk bisa menyadari senyum palsu mereka.” Sambung Nadira. 

“Kamu selama ini hanya duduk di belakang kelas, bagaimana kamu bisa tau?” 

“Aku sering memperhatikan perilaku murid-murid di kelas, termasuk dirimu. Ada banyak hal yang bisa ku lihat dari sudut pandang itu.” 

“Tapi kamu selalu berprestasi di kelas dan sekolah. Namamu selalu ada di peringkat pertama. Aku hanya bisa mendapat peringkat di bawahmu.” 

“Jika kamu mau, kamu boleh mengambil posisi itu. Aku sama sekali tidak tertarik dengan peringkat-peringkat itu.” 

“Kamu itu cukup menarik ya, disaat yang lain berlomba-lomba untuk mencapai puncak. Kau malah mengabaikan semuanya.” 

“Tak ada yang bisa kau nikmati di puncak, yang bisa kau lihat hanyalah jalan turun dan segerombolan orang yang berusaha menjatuhkanmu. Yang aku lakukan hanyalah menyingkirkan mereka yang berusaha menyingkirkanku.” 

“Omongan kamu berat banget ya, pantas kamu gak punya banyak teman.. hahaha..” Azzura tertawa untuk pertama kalinya setelah berhari-hari. 

“Kamu gak sadar ya, kalo kamu juga gak punya banyak teman.” Sambung Nadira. 

“Benar juga sih.” Jawab Azzura kembali memasang wajah murung. 

Nadira memperhatikan gerak-gerik Azzura, ia melihat tatapan kesepian yang terpancar di matanya. Tatapan itu sama seperti tatapan yang ia miliki, rasa kesepian karena tidak memiliki teman. Azzura yang tidak bisa mendapatkan banyak teman, sedangkan Nadira berusaha menghindari teman yang buruk bagi dirinya. Nadira mengerti apa yang Azzura rasakan, rasa kesepian dan kecewa terhadap orang yang mereka percayai. 

“Mau berteman?” Tanya Nadira tiba-tiba. 

“Eeh..” Refleks Azzura kaget melihat ke arah Nadira. 

“Kurasa aku harus memperkenalkan diriku terlebih dulu, Nama lengkapku Nadira Keisha Almira Adzkiya Safira Nur Khadijah.” 

“Pfffffttt, hahahahahahaha. i-itu nama atau gerbong kereta? Panjang banget. Hahaha.” Ucap Azzura dengan tawa yang meledak. 

“Nadira! panggil aja Nadira!! Udah jangan ketawa!” Jawabnya kesal 

“Hahaha. Aku tau namaku itu sangat panjang, bahkan sampai tidak muat di seragam sekolahku. Tapi nama panjang itu adalah pemberian kedua orang tuaku jadi itu sangat berharga untukku.” Jelas Nadira. 

“Aqilah Azzura, panggil aja Azzura atau Zura.” Ujar Azzura sambil mengulurkan tangannya. 

“Salam kenal Azzura.” Balas Nadira menyambut uluran tangan Azzura. 

“Salam kenal.” Balas Azzura lagi.

“Kamu sadar gak? Sejak kita sekelas, ini pertama kalinya kita kenalan.” Ucap Nadira.

“Iya. Kamu benar. Hei Nadira...”

“Apa?”

“Kamu mau gak ngajari aku ngaji? Aku ingin bisa baca Al-Qur’an sebagus kamu.” Tanya Azzura. 

“Tentu, dengan senang hati.” Jawab Nadira. 

Azzura tak berkata apa-apa, ia hanya tersenyum memeluk boneka bantalnya. Kini ia memiliki Nadira sebagai teman, teman dalam artian yang sesungguhnya. Mereka memang belum lama berkenalan, baru sekitar 2 bulan mereka sekelas. Nadira ataupun Azzura sama sekali tidak menduga kalau mereka akan di pertemukan di jurusan dan kelas yang sama. Allah mempertemukan mereka kembali dalam sebuah skenario tak terduga. Pertemuan Azzura dengan Mawaddah di halte bis, mempertemukannya dengan seorang sahabat dari masa lalu yang telah ia lupakan. Sosok seorang Nadira yang pernah membelanya, sosok seorang sahabat yang pertama kali ia miliki, kini kembali hadir di hadapannya. Kini Nadira duduk di sebelahnya dan ia semakin siap untuk melangkah hijrah membenahi dirinya.


Penulis : Umar Abdurrauf
Unknown
“Zura buruan turun, mbok Mirna udah siapkan makan malam.” Suara kak Mutia dari balik pintu kamar.

“Iya kak sebentar lagi. Zura lagi ngerapiin baju yang disetrika mbok tadi siang nih.” Jawab Azzura sambil menyusun tumpukan kain ke dalam lemarinya.

“Yaudah, jangan kelamaan lho. Ntar Dio habisin lauknya, lho kan tau makannya dia banyak.”

“Hahaha.. iya kak sebentar lagi beres kok.” Sahut Azzura sambil tertawa kecil.

Mutia turun menyusuri tangga menuju lantai bawah, meninggalkan adik bungsunya yang sedang sibuk merapikan pakaian. Azzura bergegas dan mempercepat geraknya setelah mendengar peringatan kak Mutia tentang Dio saudara laki-lakinya yang nomor dua. Tiba-tiba Azzura melihat sebuah kain tebal berwarna hijau tua di salah satu tumpukan pakaiannya. Jaket tebal itu belum sempat ia kembalikan, sudah hari kamis, sudah dua hari setelah pertemuannya dengan Mawaddah, tetapi ia belum jua sempat mengembalikan jaket yang telah menghangatkan tubuhnya ketika hujan kala itu.
Sambil memegangi jaket itu, Azzura terduduk di atas tempat tidurnya yang lembut dan mulai mengingat kejadian di hari itu. Ucapan Mawaddah masih menggema dipikirannya, “Sebenernya saya sempat ragu di awal ketika melihat kamu, apakah kamu muslim atau bukan?” Ia merasa bahwa ucapan Mawaddah itu benar-benar membuat denyut yang menyakitkan di dadanya. Sosok Mawaddah selalu mengingatkannya kepada sosok al-marhumah ibunya yang telah tiada tiga tahun lalu ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ucapan Mawaddah juga semakin mengingatkannya kepada ibunya, “Seorang muslimah diwajibkan oleh Allah untuk menutupi aurat-auratnya. Dan sesungguhnya yang membedakan antara wanita muslim dengan yang bukan muslim adalah jilbab mereka.”

“Berjilbab yah, mama dulu juga sering menasihatiku begitu.” Ujarnya sambil melihat jaket tebal di pangkuannya.

Ibunya adalah sosok seorang wanita berhijab meskipun bukanlah seorang yang bisa dibandingkan dengan sosok Mawaddah. Semenjak ibunya tiada, nuansa islami mulai memudar dari keluarganya. Sosok ayah yang super sibuk dengan pekerjaannya dan sosok kakak yang juga sangat sibuk dengan karirnya, serta sosok abang yang masih labil dan sering menyusahkan orang tua. Hal itu membuat tak ada lagi orang yang membimbing dan mengajari Azzura tentang kewajibannya sebagai seorang muslimah. Kemunculan Mawaddah benar-benar seperti bunga yang tumbuh di padang tandus dalam hidupnya.

“Besok aku harus ke FK, untuk mengembalikan jaket ini sama mbak Mawaddah.” Ujarnya, (FK = Fakultas Kedokteran).

Kemudian ia melipat kembali jaket hijau tua yang bertuliskan nama Mawaddah As-Syifa itu dan meletakkannya kembali ke dalam lemari. Segera setelah menyelesaikan pekerjaannya Azzura bergegas turun menyusuri tangga menuju meja makan. Ia melihat kakak tertuanya Mutia dan Dio Abangnya yang nomor dua yang masih duduk di bangku kuliah semester akhir. Tak tampak di hadapannya sosok seorang ayah yang selalu ia rindukan.

“Ayah gak pulang lagi yah kak?” Tanya Azzura ke kak Mutia.

“Ayah bilang ia pulang larut lagi, ada berkas yang harus ayah selesaikan untuk presentasi dengan para kliennya besok.” Jelas kak Mutia.

“Dan juga sepertinya besok ayah harus keluar kota untuk beberapa hari.” Timpalnya lagi.

“Lagi?” Tanya Azzura sedikit kecewa.

“Ya kamu taukan kalau ayah itu sibuk.” Sambung bang Dio.

“Iya tau kok, hanya saja Zura rindu masa-masa dulu saat kita selalu kumpul buat makan malam bersama ada ayah dan juga mama.” Ujar Azzura sambil mengambil nasi ke piringnya.

“Iya, kamu bener. Kak Mutia juga kangen masa-masa itu. Dan kakak juga kang.....”

“Loh!! Ayam gorengnya mana?!” Teriak Azzura memotong pembicaraan kak Mutia.

“Dwah habwis..” Jawab bang Dio sambil menguyah ayam goreng di mulutnya.

“Kamu sih kelamaan, tadi kan udah kakak ingatin. Liat tuh tumpukan tulang di piringnya, udah kayak orang gak makan berminggu-minggu.” Sahut kak Mutia.

“Yaaaaah, terus Zura makan apa dong? Masa ia cuma makan kangkung dan nasi doang.

“Anak gadis itu makannya gak boleh banyak-banyak, ntar gemuk. Anggap aja lagi diet.” Ucap Dio menggoda Adiknya.

“Tenang non, udah mbok siapkan khusus buat non Zura.” Mbok Mirna datang sambil membawakan piring berisikan tumpukan ayam goreng.

“Waaaaahh, mbok Mirna emang paling mengerti Zura. Gak kayak bang Dio, rakus!! Makannya aja banyak tapi badannya segitu-segitu mulu.”

“Hehehe iya dong non, mbok Mirna gitu loh.” Ucap wanita paruh baya berjilbab putih itu.

“Oh ya mbok, udah siap masaknya kan? Sekalian ajakin pak Dirman makan, sepertinya pak Dirman belum makan dari tadi.” Ucap kak Mutia.

Mutia Aldira Putri, kakak tertua Azzura ini merupakan sosok wanita berambut pendek yang sangat cantik dan ramah. Sosoknya yang dewasa dan bijaksana sebagai anak tertua membuat Azzura merasa masih memiliki seorang ibu yang selalu memperhatikannya. Meskipun terkadang Mutia sibuk dengan karirnya sebagai seorang designer dan mengurus beberapa butik usahanya, tetapi ia masih menyempatkan diri untuk memperhatikan Azzura adik bungsunya. Bagi Azzura, kakaknya adalah sosok seorang wanita modern yang stylish dan sangat trendi.

“Iya non, nanti saya suruh pak Dirman makan.” Jawab mbok Mirna.

“Zura, Dio, kakak ke kamar sebentar, ada distributor batik yang mau kakak hubungi.” Ucap wanita berumur 27 tahun itu sambil melangkah meninggalkan meja makan.

“Halah, bilang aja mau nelpon bang Jo.” Gerutu Dio sambil mencomot sepotong paha ayam goreng dari piring yang dibawa mbok Mirna untuk Azzura.

“Tangan!!” Bentak Azzura melihat kelakuan Dio.

“Anak perempuan itu makan gak boleh banyak-banyak, ntar gemuk loh.”

“Biarin !” Jawab Azzura sambil menggelembungkan pipinya yang imut.

Azzura masih bersyukur, meski kehilangan sosok mama yang sangat ia cintai, dan sosok ayah yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia masih memiliki seorang kakak perempuan yang baik dan mau mendengarkan ceritanya, serta sosok seorang abang yang usil dan suka mengganggunya. Saat ini Azzura hanya tertawa di meja makan bercanda tawa dengan mbok Mirna dan saudara laki-lakinya.

Jum’at pagi yang begitu cerah, tak terlihat sedikitpun tanda-tanda akan turunnya hujan. Kerumunan mahasiswa berkeliaran di sekitaran kampus, menjalani aktifitas harian yang bagi sebagian orang sangat membosankan. Azzura melintas di koridor fakultas dengan begitu anggun dan mempesona. Kaos merah marun berlengan panjang berhiaskan pernak-pernik keemasan dan skinny jeans hitam membuatnya terlihat begitu memikat. Rambutnya yang hitam dan tebal tergerai begitu indah dan menambah kecantikan wajahnya yang orientalis. Make up yang natural berpadukan penampilan yang stylish, disempurnakan dengan high heels hitam yang menghiasi kakinya, serta sebuah tas gandeng berwarna hitam mengkilap tergantung di bahu kanannya. Tubuhnya yang jenjang dan anggun membuatnya terlihat bagaikan seorang model yang sedang cat walk di hadapan ratusan mata.

Penampilannya yang mencolok dan kerap menjadi perhatian bagi para lelaki, membuatnya cukup terkenal di fakultas sastra. Meski ia masih berada di semester empat, tetapi banyak dari kalangan lelaki yang mengenal dirinya. Bahkan seorang ketua BEM Fakultas pernah mencoba untuk mendekatinya bahkan mengajak Azzura untuk berpacaran. Sayangnya Azzura bukanlah tipikal wanita yang mudah tertarik dengan seorang lelaki hanya dari penampilan dan status sosialnya. Nasihat kakaknya Mutia tentang seperti apa kebanyakan lelaki masih menjadi dasar penilaiannya. Ia tidak lagi memiliki seorang ibu, siapa lagi yang harus dia dengarkan jika bukan nasihat kakak tertuanya yang juga seorang wanita?

Ada sesuatu yang sedikit janggal dari penampilan Azzura saat itu. Winny teman sekelasnya menyadari hal itu dengan sangat jelas. Ia pun bergegas mengejar Azzura dari belakang dan mempercepat langkah kakinya yang berhiaskan flat shoes merah.

“Ra, apaan tuh yang lho bawa di tangan kiri lho?” Ujar Winny mengagetkan Azzura.

“Elo Win, bikin kaget aja. Ini jaket milik seorang senior di FK, beberapa hari lalu ia meminjamkannya padaku saat berteduh di halte bis.” Jawab Azzura.

“Ciiiiieeeee, setelah nolak ketua BEM sekarang mainnya sama anak kedokteran aja nih ya.” Usik Winny.

“Apaan sih lho Win, jaket ini yang punya cewek tau!” Jelas Azzura memperbaiki kesalahpahaman Winny.

“Haaaaa? Jadi begitu ternyata. Sekarang gue ngerti kenapa lho nolak kak Ardi, ternyata lho itu......? Sebaiknya gue jaga jarak mulai saat ini.” Usik Winny sekali lagi.

“Iiiiissh, apaan sih lho. Asal lho tau ya, yang punya nih jaket itu orangnya baik dan ramah banget. Dia itu wanita sholehah, jilbabnya lebar banget, melihatnya saja gak bisa dibandingkan dengan cewek seperti kita.” Jelas Azzura.

“Oh gitu, dia pasti aktifis kampus Ra. Coba lihat jaketnya.” Pinta Winny.

“Kan bener, coba deh baca.” Ucap Winny menunjukkan bagian punggung jaket itu.

“Kemuslimahan Az-Zahra.” Baca Azzura.

“Ini itu kegiatan muslimah di FK Ra. Di fakultas kita juga ada, tapi aku lupa namanya. Kadang juga aku diajak sama temen-temen kita yang berjilbab di kelas, tapi aku minder karena aku gak pake jilbab.” Jelas Winny.

“Lho kok bisa tau banyak gitu Win?” Tanya Azzura.

“Dulu di masa ospek kan ada perkenalan setiap UKM di kampus, masa lho lupa sih Ra? Kalo masalah kemuslimahan di FK, kebetulan ada seseorang di kontak BBM milikku yang ternyata anggota kegiatan itu, dia teman satu kelas di les bimble dulu. ” Jawab Winny.

“Aku lupa Win, karena banyaknya UKM di kampus kita. Yang ku ingat hanya BEM dan juga HMJ. By the way, apa nama UKM-nya Win? Mungkin aku bisa kesana buat ngembalikan jaket ini.”

“Kalo gak salah namanya itu UKMI Ad-Dakwah, UKMI itu singkatan dari Unit Kegiatan Mahasiswa Islam. Isinya itu semuanya cewek-cewek berjilbab seperti yang lho bilang tadi. Gak hanya itu, cowok-cowok disana itu subhanallah banget Ra.”

“Bisa ngucap juga lho yah Win, hahaha...”

“Gini-gini aku masih orang islam, keles.”

“Emangnya kenapa Win dengan cowok-cowok disana?”

“Emang gak semuanya ganteng sih Ra, malah kebanyakan yang jelek. Tapi kalo bicara soal ilmu agama mereka ahlinya. Hampir di setiap fakultas mereka itu punya anggota, makanya ada beberapa kegiatan yang berbeda di setiap fakultas yang dibuat oleh mereka.”

“Eeeh Win, tuh tuh.. liat tuh.” Ujar Azzura melirik ke dua orang wanita berhijab syar’i yang ada di hadapan mereka.

“Apa ku tanya ke mereka aja yah?” Sambungnya.

“Emangnya lho berani negur mereka Ra? Cewek ahli neraka kayak kita negur cewek-cewek penghuni surga seperti mereka. Iih gak kebayang deh Ra, gue aja malu kalo berpapasan dengan mereka.” Ujar Winny.

“Yaudah deh gue urungkan aja niat gue, sebenarnya gue juga minder kalo lewat di depan mereka. Kayak mana kalo nanti mereka ngelihat jaket yang gue pegang ini.”

“Yaudah, gimana kalo kita ambil jalan mutar aja.”

“Ayo deh Win, gue ikut lho aja.”

“Win, sepulang kuliah nanti lho mau gak nemeni gue ke FK?” Sambung Azzura.

“Mau sih Ra, tapi lho tau kan gue harus kerja. Lho mah enak banget bisa nyantai mulu, nah lho kan tau gue gak seberuntung elo.”

“Iya Win, sorry gue lupa. Yaudah ntar lho hati-hati kalo kerja. Thanks yah udah ngasih gue info penting buat ngembalikan jaket ini.”

“Oke Ra gak masalah kok, kayaknya kita harus buru-buru deh. Udah telat nih, dari tadi ngobrol mulu jadi santai banget jalannya.” Ujar Winny melihat ke arah jam tangannya.

“Iya Win, yuk.”

Winny Ayunda, seorang cewek manis yang agak tomboy. Rambutnya yang selalu dikepang dan poninya yang selalu dibuat kesamping membuatnya terlihat manis. Wanita berlesung pipit itu adalah teman Azzura sejak jaman SMA, meski Azzura gak pernah menduga ia akan sekelas lagi dengan Winny ketika kuliah tapi hubungan mereka memang sudah cukup akrab. Dulu semasa SMA, Azzura tak kalah terkenalnya seperti saat ini. Ia kerap menjadi bahan pembicaraan dari kalangan lelaki dan perempuan, banyak cowok yang suka padanya dan tak kalah dengan itu banyak cewek yang iri dengannya. Azzura pernah di-bully oleh kakak kelas bahkan teman sekelasnya, banyak perempuan yang iri dan menjelek-jelekkannya. Meskipun ia cantik dan berasal dari keluarga terhormat, tetapi tak banyak yang mau menjadi temannya. Bahkan sebagian dari temannya juga hanya memanfaatkan kepopuleran dan kekayaannya.

Hingga hari dimana al-marhumah ibunya meninggal dunia, ia akhirnya tahu mana orang yang benar-benar tulus menjadi temannya. Saat itu hanya tiga orang yang ada untuknya disaat ia benar-benar dalam keadaan berduka. Arsyad, seorang lelaki yang telah menjadi masa lalunya, seorang gadis berjilbab putih yang tiba-tiba hadir kepemakaman ibunya, dan Winny adalah salah satu di antaranya. Sejak hari itu Azzura akrab dengan Winny, tak jarang terkadang Winny di ajak bermain ke rumahnya. Meski Winny berasal dari kalangan menengah ke bawah, tak membuat Azzura risih berteman dengannya. Kebaikan dan kejujuran Winny dalam berteman membuatnya merasa nyaman dan menganggap Winny seperti saudarinya sendiri. Karena tak seperti yang lainnya, Winny tak pernah mengharapkan apapun dari kepopuleran dan kekayaan Azzura.

Jam kuliah telah berakhir, sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB dan Azzura mengucapkan salam perpisahan dengan Winny di depan gedung fakultas. Ia melangkahkan kakinya menuju gedung besar berwarna putih yang jaraknya cukup jauh dari fakultas sastra. Sambil menyandang tas berwarna krem keemasan di tangan kanan dan sebuah jaket hijau tua di tangan kiri, Azzura berjalan seraya melihat lalu lalang mahasiswa yang sibuk dengan aktifitasnya. Mata Azzura semakin liar mencari-cari sosok Mawaddah disana. Ada sedikit lelaki yang juga ia lihat terburu-buru menuju masjid kampus, mungkin mereka sedang mempersiapkan diri untuk shalat jum’at.

Matahari bersinar sangat terik, menyengat kulit putih dan mulus milik Azzura. Ia mempercepat langkahnya, hingga high heels-nya tak mampu menahan beban langkahnya.

“Aduuuuuhh.” Teriak Azzura sambil mengangkat tangannya yang kotor terkena pasir di aspal.

“Apeess banget gue bisa jatuh gini, Eh jaket mbak Mawaddah.” Sambungnya lagi sambil meraih jaket tebal yang tadi di pegangnya.

“Kamu gapapa?” Terdengar suara seorang laki-laki yang menghalangi sinar matahari dari Azzura.

“Pake nanya segala! udah tau gue jatuh ya jelas gue kenapa-ke...” Ucapan Azzura terhenti ketika melihat sosok pemuda di hadapannya.

“Assalamu’alaikum.” Ujar laki-laki berkemeja hitam itu.

“Wa-wa’alaikumsalam.” Jawab Azzura kaku.

“Kamu bisa berdiri?” Tanya laki-laki itu sekali lagi.

“Eh, i-iya bisa kok.” Azzura bangkit dan membersihkan Skinny jeans hitamnya yang kotor terkena debu.

“Syukurlah, kalo begitu saya duluan ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa-wa-wa’alaikumsalam.”

Azzura hanya terdiam melihat punggung lelaki itu menghilang dari hadapannya. Teriknya sengatan 
matahari tak lagi terasa di kulitnya, hanya sebuah lamunan kosong dan bayangan lelaki berkemeja hitam itu yang terlintas di pikirannya. Ntah berapa lama ia tertegun dan berdiri disana, hingga sosok pemuda itu menghilang dan ia sadar bahwa kulitnya mulai terasa panas.

“Aduuh, panasnya. Untung tadi gue pakai tabir surya.” Ujarnya.

“Gue sampe lupa ngembalikan jaket mbak Mawaddah.” Sambungnya.

“Kira-kira lelaki tadi itu siapa yah? Wajahnya itu benar-benar familiar, seperti pernah kulihat sebelumya. Tapi ganteng juga sih, banget malah. Selain itu, sepertinya dia orang baik, terlihat dari cara bicaranya.”

Sepanjang jalan Azzura berbicara dengan dirinya sendiri dan mencoba mengingat-ngingat kembali sosok laki-laki yang tadi ia temui. Tanpa sadar akhirnya Azzura sudah sampai di depan gedung fakultas kedokteran beriringan dengan dikumandangkannya adzan jum’at. Ia langsung menyusuri koridor-koridor bangunan itu namun tak terlihat sedikitpun sosok wanita cantik yang ia cari-cari. Sesekali ia bertanya kepada mahasiswa-mahasiswa yang masih berkeliaran di sekitar gedung, dimana ruangan mahasiswa semester enam? Setelah beberapa kali menerima jawaban “tidak tau.” Azzura akhirnya bisa langsung bergegas ke lantai tiga tempat mahasiswa semester enam belajar. Sangat mengecewakan, setibanya dia disana situasi sudah sepi dan tak ada sosok Mawaddah yang ia cari.

Setelah kecewa karena tak menemukan Mawaddah, Azzura berjalan menuruni tangga dan berpapasan dengan tiga orang wanita berberhijab syar’i. Terjadi konflik batin di hatinya, antara keinginan untuk bertanya dan rasa malu dengan penampilannya. Akhirnya, setelah melalui konflik batin yang mendalam Azzura melepas rasa malunya dan mempercepat langkahnya mengejar tiga orang wanita tersebut.

“A-a-ssalamu’alaikum mbak.” Sapa Azzura kepada ketiga wanita itu.

“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatu.” Jawab tiga wanita itu serentak.

“Ada apa yah mbak? Ada yang bisa kami bantu?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Eee.. A-anu, eee... Sa-saya sedang mencari mbak Mawaddah, mbak kenal gak dengan mbak Mawaddah?” Tanya Azzura gugup.

“Oh, Mawaddah As-Syifa ya?” Sahut seorang wanita berkerudung coklat gelap.

“Iya mbak. Kenal kan?” Tanya Azzura sekali lagi.

“Kenal dong, mbak Mawaddah itu cukup terkenal di fakultas kedokteran. Selain seorang aktifis di LDK, dia itu juga seorang asisten dosen, jadi dia sering masuk ke kelas saya.” Jawab wanita berhijab putih.

“Kalo boleh tau ada keperluan apa yah mencari mbak Mawaddah.” Sambung wanita berhijab putih itu.

“Ini mbak, beberapa hari yang lalu mbak Mawaddah meminjamkan saya jaketnya saat hujan. Jadi saya berniat mengembalikannya.” Jawab Azzura.

“Kira-kira bisa saya titip ke mbak? sampaikan terima kasih saya kepada mbak Mawaddah.” Sambungnya.

“Kenapa gak ikut kita aja sekalian, kebetulan kita mau ketemuan sama mbak Mawaddah.” Sahut si wanita berberhijab putih.

“Bener tuh, sekalian ikut kita aja yuk mbak. Lagi pula jika kita meminjam barang, alangkah baiknya jika kita sendirilah yang mengembalikan barang tersebut. Sekaligus menghargai orang yang sudah meminjamkannya kepada kita.” Sambung si wanita berkerudung coklat gelap.

“Yuk ikut kita.” Ajak wanita berhijab putih.

“I-iya mbak.” Dengan sedikit rasa minder Azzura mengiyakan ajakan ketiga wanita cantik itu.

“Oh iya mbak, kenalin nama saya Aqila Azzura, panggil aja Zura. Saya mahasiswa fakultas sastra semester empat” Ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“Nama saya Arshiyla Humaira, panggil aja Syila. Saya masih semester empat di kedokteran.” Sahut wanita berhijab putih itu sambil menjabat tangan Azzura.

“Nama saya Clara Septiani, saya sudah semester enam di kedokteran tapi di jurusan yang berbeda dengan Mawaddah.” Ujar wanita berjilbab coklat gelap dan menyambut uluran tangan Azzura.

Saat itu Azzura menyadari, ada seseorang yang dari tadi hanya diam saja. Wanita yang hawa keberadaannya lebih mencolok dibandingkan dengan dua wanita lainnya. Yang membuatnya berbeda adalah cadar hitam yang menutupi wajahnya. Busana berwarna hitam yang menjulur di tubuhnya dipadukan dengan hijab syar’i yang berwarna kuning cerah kontras dengan warna cadarnya, membuat wanita bertubuh kecil itu begitu indah. Azzura tertegun sejenak memperhatikan wanita itu, tatapan matanya yang bulat membuat Azzura terpaku.

“Nadira, panggil aja saya Nadira.” Terdengar suara dari balik cadar itu.

“Oh iya mbak.” Sahut Azzura menjabat tangan wanita bercadar itu.

“Nadira ini memang masih semester dua, tetapi usianya sama dengan kita yang sudah semester empat. Dulu ia sempat tidak berkuliah satu tahun. Ya kan Nadira?” Ujar Syila.

“Iya.” Jawab Nadira singkat.

“Walaupun masih muda, Nadira ini sangat luar biasa loh. Dia sudah hafal lebih dari setengah Al-Qur’an.” Sambung Clara.

“Wow! hebat!” Sentak Azzura kaget.

“Jangankan menghafal Al-Qur’an, gue aja shalat masih jarang mengerjakan.” Ujar Azzura di dalam hati.

“Sudah, tidak perlu dibahas. Mari kita temui mbak Mawaddah.” Sahut wanita bercadar itu, terlihat matanya yang melengkung menadakan ia tersenyum.

Mereka pun berjalan menuju tempat yang Azzura tak ketahui, keramah-tamahan wanita-wanita berhijab syar’i itu membuatnya lupa untuk bertanya. Suasana nyaman tanpa ada diskriminasi. Awalnya ia minder dan takut jika diejek atau disindir karena busananya, tetapi ketiga wanita itu menyambutnya dengan hangat dan memperlakukannya seperti memperlakukan seseorang yang sudah lama mereka kenali.

Azzura ingat, ia pernah merasakan hal seperti ini. Suasana yang nyaman dan ceria seperti ini. Ya, saat itu, saat pertama kali ia berkenalan dengan Mawaddah di halte bis. Mereka memperlakukan Azzura seperti teman dekat dan tidak mengolok-olok penampilannya. Azzura masih terus memperhatikan wanita bertubuh kecil yang mengenakan cadar itu. Nadira, sepertinya ia merasa familiar dengan nama panggilan itu. Dibandingkan dengan Syila dan Clara, Nadira lebih sedikit berbicara dan hanya tertawa pelan sesekali. Entahlah, Azzura tak tahu rupa seperti apa yang ada di balik cadar hitamnya itu.

“Nah, kita sudah sampai.” Ujar Syila.

Azzura takjub dengan apa yang ada di hadapannya. Sekumpulan wanita-wanita berhijab memenuhi ruang aula jurusan kedokteran, memberikan nuansa penuh warna yang menghiasi ruangan itu. Ada beberapa yang masih mengenakan celana jeans seperti dirinya, hanya saja mereka mengenakan jilbab meski tak sebesar dan setebal milik tiga wanita di sampingnya.

“Ee.. A-anu, saya titip jaketnya saja yah.” Ujar Azzura tiba-tiba.

“Loh kenapa? Sekalian aja masuk, kebetulan yang mengisi materi kemuslimahan hari ini adalah mbak Mawaddah yang kamu cari.” Sahut Syila.

“Tapi sepertinya dia belum datang. Mungkin sedang shalat dzhuhur.” Timpal Clara.

Tak ada komentar yang keluar dari mulut Nadira, ia hanya diam memperhatikan Azzura yang seperti salah tingkah atau lebih tepatnya malu untuk masuk ke dalam ruangan. Seketika Nadira meraih ransel di punggungnya, ia mengambil sehelai kain berwarna hitam dari dalam dan menyerahkannya ke Azzura.

“Ini, pakailah.” Ujar Nadira.

“........” Azzura tak bisa berkomentar.

“Sebenarnya ini adalah barang dagangan milik kakakku. Tapi aku yakin dia tidak keberatan jika aku memberikan satu kepadamu.” Sambung Nadira.

Azzura hanya terdiam, tiba-tiba sehelai kain hitam sudah berada di tangannya. Tangannya gemetar, ia tak tau apa yang harus ia perbuat. Saat itu, semua nasihat dan perkataan ibu yang pernah menyuruhnya untuk berhijab terlintas di dalam benaknya. Tanpa sadar Azzura mulai meneteskan air mata, di hadapan Syila, Clara, dan Nadira, Azzura menangis dan menutupi wajahnya dengan kain hitam itu.

“Pakailah.” Sahut suara lembut dari belakang Azzura bersamaan dengan tangan yang merangkul bahunya.

Azzura mengangkat kepalanya dan melihat sosok Mawaddah yang dari tadi ia cari-cari. Spontanitas Azzura langsung memeluk Mawaddah, air matanya membasahi kerudung hitam yang dikenakan oleh wanita yang ia temui di halte bis itu. Azzura tak kuasa menahan isak tangisnya, Mawaddah langsung mendekapnya, Syila dan Clara langsung mengelus-elus punggung Azzura, sedangkan Nadira hanya diam dan melihat saja. Nadira membelakangi mereka semua, kembali mengenakan ranselnya, dan menyeka matanya yang berkaca-kaca. Sifat Nadira yang ceu tetapi menyentuh telah menggoyahkan hati Azzura.

Setelah mengusap air matanya, Azzura berdiri tegak menatap wanita-wanita luar biasa yang telah menenangkannya. Mawaddah mengusap sisa-sisa air mata yang tertinggal di pipi Azzura, seraya berkata “Jangan menangis, wanita cantik seperti ukhti haruslah terlihat anggun. Pakailah dan lihatlah betapa cantik ukhti bila mengenakan hijab ini.”

Azzura hanya menganggukkan kepalanya, matanya masih berkaca-kaca di hadapan wanita-wanita yang baru ia kenali itu. Mawaddah meraih kain hitam di tangan kanan Azzura dan memakaikannya membaluti rambut yang hitam dan tebal milik Azzura. Azzura hanya diam dan merasakan kehangatan dari seorang ibu yang lama tidak ia rasakan, kehangatan yang ia rindukan. Tanpa ia sadari kain hitam yang tadi berada di tangannya kini menjadi perhiasan yang begitu indah. Air mata masih membasahi matanya dan sekali lagi Nadira mengulurkan tangannya.

“Ini. Husap air matamu dan lihat betapa cantiknya dirimu.” Ujarnya sambil menyerahkan sebungkus kecil tissue dan cermin rias di tangannya.

Azzura meraih benda itu dan menghapus air matanya. Make up-nya sedikit luntur, segera ia membersihkannya. Ia melihat sosok dirinya berbalut hijab di depan cermin. Hatinya berkata, “Mama, lihatlah anakmu ini. Anak mama sekarang pakai jilbab seperti keinginan mama dulu. Ma, andai mama masih ada, Zura ingin mama melihat Zura berhijab seperti ini.”

Hari itu, di Jum’at yang berbeda dari biasanya. Saat matahari lebih terik daripada hari-hari sebelumnya, sebuah cahaya terpancar dari sebuah pelukan dan uluran tangan muslimah-muslimah cantik di hadapan Azzura. Cahaya yang akan membawanya kepada sebuah fenomena yang akan merubah hidupnya.


Penulis : Umar Abdurrauf