undefined
undefined
Unknown


Aku duduk terdiam di atas tempat tidurku, ku tarik nafas dan ku hela secara perlahan. Ku tatap nanar kaca jendela yang mulai di basahi rintik nikmat dari Sang Pencipta. Aku tersenyum seketika dan tanpa ku sadari air mata sudah membasahi jilbab besar ku yang menjulur menutupi aurat ku.

“Allah itu Maha Baik.” Ujarku secara perlahan.

Allah selalu tahu isi hati setiap hamba-Nya, begitu pula dengan hatiku. Awan kelabu dan suara rintikan hujan seakan menjadi latar dan simponi Qolbu ku saat ini. Entah aku harus senang atau sedih semua bercampur aduk menciptakan dilema di dalam hati.

Mungkin aku yang salah karena lalai dari peringatan-Nya. Hatiku terlalu jauh membawaku pergi melewati batasan yang telah ditentukan oleh-Nya.

”Ya Allah, ampunilah aku.” teriakku dalam hati.

Masih teringat jelas dalam benakku hari pertama aku melihatnya. 7 Tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Aku tak pernah menyangka bahwa pertemuanku dan dia akan menjadi sebuah duri dalam hatiku saat ini.

******                                                      

7 Tahun yang lalu aku hanyalah seorang gadis akhil baligh yang baru lulus dari Madrasah Tsanawiyah (MTs). Layaknya kebanyakan gadis di usiaku saat itu aku mulai mengalami masa-masa pancaroba yang wajib dilalui semua orang. Walaupun aku lulusan sekolah yang bertajuk islami, tapi tak mengartikanku sebagai pribadi yang demikian.

Setelah menerima surat kelulusan, aku menetapkan untuk melanjutkan pendidikan ke salah satu SMA Negeri dan Alhamdulillah, Allah mengabulkan doaku. Hari-hari awal disana ku lalui dengan biasa, masa MOS dan perkenalan berlangsung cukup menarik walau sedikit menjengkel kan.

Aku mengenal dirinya dari sebuah acara pengajian rutin yang di selenggarakan sebuah organisasi islami di sekolahku, atau yang lebih dikenal dengan ROHIS (Rohani Islam). Sosoknya begitu berwibawa, murah senyum, dan pendiam.

Pada awalnya aku memutuskan untuk ikut ROHIS agar bisa mengenalnya lebih jauh. Dia kakak kelas yang 2 tahun lebih tua dariku. Tak jarang saat itu aku sering mencuri-curi pandang terhadapnya. Namun tak sedikitpun ia memperhatikanku, kemanapun aku melihatnya berjalan, tatapannya selalu ditujukan pada tanah yang tak berdosa..

”Nih orang aneh banget sih, kalo jalan sambil ngukurin tanah.” ujar Zahra.
”Bukan ngukurin tanah, kakak itu lagi nyari koin. Siapa tau ada yang jatuh, kan lumayan hehehe..” jawabku ngawur

Bukan cuma aku, tak sedikit teman-teman yang masuk ROHIS hanya untuk memata-matai si kakak cuek ini. Yah, kakak cuek! Begitulah kami memanggilnya saat itu. Ia sama sekali tak menghiraukan perempuan yang mendekatinya, ia fokus pada kegiatan dan dirinya. Sombong, itulah yang pertama kali terlintas dalam fikiran teman-temanku.

Hanya ketika ROHIS mengadakan rapat atau acara tertentu, ia baru mau memperhatikan kami. Itupun hanya sebatas melihat amanah yang kami laksanakan. Bertanya dengan nada sedikit tegas, itu karena ia adalah Ketua ROHIS kami.

Awalnya aku kira kakak ini homo!! Karena sikapnya yang begitu dingin terhadap perempuan, namun begitu akrab dengan teman-teman sejenisnya. Tak sedikit pula teman-temanku yang patah hati karena mendapatkan ponolakan darinya, kakak-kakak senior kami mengatakan bahwa ia tak akan mau pacaran.

Aku mengerti alasannya, memang itu adalah alasan yang sangat wajar bagi orang sepertinya. Aku pernah mendengar desas-desus tentang haramnya pacaran di dalam islam. Terlebih dia begitu tekun mendalami agamanya, hingga ia mampu mengekang cintanya dalam penjara yang ku sebut kesabaran.

Suatu ketika aku memberanikan diri bertanya langsung padanya melalui sebuah sms. Aku sedikit malu, bertanya kepada seorang lelaki tentang ”apa itu cinta?”. awalnya aku mengira ia tak akan mau menjawab sms-ku, terlebih dari seorang yang mungkin nomornya asing.

Namun ternyata, ia menjawabnya dengan kalimat yang begitu indah.

”Cinta adalah sebuah fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, maka  sandarkanlah cinta hanya kepada Sang Maha Cinta. Sebelum engkau mencoba mencintai manusia, belajarlah mencintai-Nya, sebelum engkau mencoba membahagiakan manusia, bahagiakanlah diri-Nya.”

Entah apa yang ku rasakan saat itu, apakah perasaan yang ku rasakan terhadapnya adalah cinta ataukah hanya sebuah kekaguman yang berbalut nafsu dunia. Jika dibandingkan dengan dirinya aku bukanlah sosok wanita sholehah yang pantas dengan lelaki sepertinya. Aku ingin membalas smsnya, namun rasa malu menyelimuti hatiku.

Sejak hari itu aku mulai tertarik mempelajari agama, mencari tahu lebih dalam “apa itu cinta??”. Tanpa ku sangka semua itu mengubah hidupku, sedikit demi sedikit aku mulai rutin mengikuti kegiatan yang di adakan ROHIS dan perlahan aku mulai banyak belajar. Tanpa ku sadari hari demi hari berlalu, teman-teman bilang sikapku berubah. Lebih pendiam dan sering membaca buku-buku islami. Tak kalah dari itu penampilanku pun telah berubah. Kini jilbabku lebih besar dan menjulur indah, aku mulai percaya diri dan nyaman dengan penampilan baruku, walaupun ada saja kicauan-kicauan merdu yang menyinggung dengan penampilan baruku.

Wanita begitu istimewa, begitulah cara Allah menjaganya. Aku mulai perdalam ilmu ku dalam memaknai agama cinta-Nya. Bukan hanya penampilanku, tapi hidupku pun mulai berubah, mungkin aku tak akan tersadar akan perubahan itu jika saja ibuku tak mengatakannya.

Ibu bilang, sekarang aku lebih rajin dalam mengerjakan sholat lima waktu, rutin bertilawah dan ternyata ibuku diam-diam mengintipku ketika aku hendak melaksanakan sholat malam. Cara bicaraku yang dulunya berantakan perlahan berubah dan lebih terjaga.

Aku senang, perubahan ini mengukir senyum di wajah kedua orang tua ku. Saat itu aku tersadar akan sesuatu, sebuah kalimat yang membuat air mataku bercucur ria.”Ridho Allah terletak kepada ridho kedua orang tua.”

Hari itu aku mengerti, cinta yang ku miliki adalah milik-Nya dan hanya kepada-Nya lah aku menyerahkan cinta. Kebahagiaan yang dirasakan kedua orang tua ku adalah salah satu bentuk cinta-Nya. Cinta mengubah hidupku, cinta mengajarkanku taat kepada apa yang aku cintai, cinta mengajarkan ku berubah.

Kini aku mengerti defenisi cinta yang sesungguhnya, cinta yang murni hanyalah cinta yang di tujukan pada Sang Maha Cinta. Cinta kepada manusia tanpa disandarkan pada-Nya hanyalah sebuah nafsu semata.

Aku juga mulai mengerti, makna dari menundukkan pandangan yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya. Kini aku jadi ikut-ikutan disebut sebagai pengukur luas tanah atau si pencari koin. Sepertinya aku kena batunya karena pernah ngejek kakak itu di waktu yang lalu.

Hidupku berubah seiring dengan penampilanku, namun satu hal yang tak mampu ku ubah adalah kekagumanku padanya. Aku masih bertanya, apakah perasaan ini adalah sebuah cinta karena-Nya ataukah nafsu sahaja?

Ini adalah penghujung semester akhir, kekhawatiran mulai tertanam dalam hatiku. Perlahan tumbuh menjadi pohon keraguan yang berbuah kesalahan. Yah, mungkin itu adalah kesalahan terbesar yang pernahku lakukan. Saat itu aku tak tau setan apa yang menguasaiku, tanpa ku sadar aku mulai ragu dan tak yakin dengan janji-Nya.

Tak lebih dari setahun aku mengenalnya, namun ia membuatku banyak berubah. Membuatku semakin mendalami agama cinta-Nya. Jika dibandingkan dengan dirinya, pemahamanku masihlah jauh dibawahnya. Hatiku pun tak mantap seperti hatinya, imanku goyah tak sekokoh imannya. Aku takjub akan dirinya yang di usia muda memiliki kecintaan terhadap agamanya tak seperti kebanyakan lelaki seusianya.

Hari itu melalui sepucuk surat yang ku selipkan di sepeda motornya, ku nyatakan perasaanku. Ku ungkapkan betapa kagum aku pada dirinya, ku jelaskan rumitnya perasaanku, ku ceritakan perubahan yang ku lakukan untuk menjadi wanita yang baik untuknya, dan ku nyatakan betapa berharapnya aku menjadi bidadari surganya.

Aku tak tau entah apa ekspresi yang ia tampakkan saat ia membaca namaku di surat itu. Aku gelisah dan mulai resah dengan jawabannya, apakah ia juga mencintaiku?? Ku hapus pikiran konyol itu dari otakku.

Tiba-tiba handphone-ku berdering dan sebuah pesan masuk, aku terkejut itu darinya. Pertama dan terakhir kali aku mengirim sms padanya adalah saat aku bertanya ”Apa itu cinta?” dan saat itu aku tak memperkenalkan identitasku. Apa mungkin dia menyimpan nomorku? Atau ia memang tahu itu aku? Ku hapuskan pertanyaan-pertanyaan itu dan mulai ku baca isi sms nya.

Assalamu’alaikum,ukhti khansa.

Sungguh ana sangat tersanjung dengan surat yang ukhti berikan. Sungguh Allah Maha Cinta, mohon maafkan ana karena belum bisa menjawab pertanyaan ukhti.

Biarlah pada waktunya, Allah akan menjawab semua. Jika memang benar yang ukhti rasakan itu cinta, maka jagalah ia dalam indahnya diam, sebagaimana Fatimah menjaga cintanya untuk Ali.

Tetaplah berbenah diri, karena sungguh kekasih itu datang sesuai keimanan di hati, Allah telah berjanji dan Ia lah yang Maha Menepati Janji.

Jika memang Allah menakdirkan seperti yang ukhti harapkan, siapapun tak akan bisa menolaknya. Namun jika Allah menakdirkan tidak seperti yang ukhti harapkan, yakinlah Allah selalu memberikan yang terbaik buat hamba-Nya.

ALLAH MAHA BAIK

Semoga Allah selalu menjaga kita dalam naungan Cinta-Nya.

Sms panjang itu membuat hatiku bergetar, walau ku tau tak ada jawaban untuk perasaanku di dalamnya, namun kegelisahanku perlahan sirna. Aku merasa malu dan tak tau harus bersembunyi dimana, masih ada beberapa hari yang harusku lalui, dan aku harus berpapasan dengannya.

Ia begitu profesional dalam menjaga sebuah rahasia, tak ada satupun orang yang tahu tentang kejadian itu, termasuk teman-temanku. Setiap berpapasan denganku ia hanya melintas dan berlalu. Tak sedikitpun terlihat adanya hal yang berbeda dari biasanya, seolah tak pernah terjadi apa-apa.


Semua berlalu begitu saja, ia lulus dengan hasil yang luar biasa. Ia akan melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu Universitas ternama di Indonesia. Mendengarnya akan melanjutkan kuliah di luar kota, membuatku tak tau harus apa? Senang atau sedih? Namun semua itu ku jalani begitu saja. Aku hanya bisa berdoa kepada Allah untuk selalu menjaganya disana.

****

2 tahun berlalu, aku lulus dengan nilai yang melebihi harapanku. Aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di dalam kota, seperti keinginan orang tuaku yang khawatir bila aku jauh. Selama itu pula tak ada yang berubah dari hatiku, sempat ada beberapa lelaki yang mencoba mendekatiku, namun selalu berhasil ku hindari.

Selama di ROHIS aku belajar banyak dan semakin mengerti, kini aku hampir sepenuhnya paham setiap kalimat yang dulu pernah ia kirimkan. Dia hanya pernah 2 kali mengirimkan sms padaku, dan hingga hari ini sms itu masih tetap ada dalam file tersimpan Handphone ku.

ROHIS membuatku bertemu dengan seorang sahabat yang setia, Zahra. Pada awalnya kami berdua sama, sama-sama tak paham tentang agama, dan sama-sama suka pada orang yang sama. Namun, setelah kepergian kakak itu, Zahra tak pernah lagi membicarakan tentang dirinya, malah aku lah yang selalu membuka bahasan tentang dirinya.

Zahra menjadi tempat curhat setia ku, ia mau mendengarkan jeritan hatiku yang begitu mengharapkannya. Aku bahagia sekali memiliki sahabat yang setia di jalan yang sama, yakni jalan cinta-Nya.

Zahra juga banyak berubah. Pertama mengenalnya, ia tak mengenakan jilbab dan Alhamdulillah kini ia sudah mengenakan jilbab yang syar’i. Pemahamannya tentang agama pun cukup luas, bahkan tak jarang aku bertanya dan mendengarkan penjelasan darinya. Terkadang aku merasa ia lebih baik dari pada diriku. Terlebih lagi ia sudah hafal lebih dari 9 Juz, sementara aku hanya hafal 1 Juz, itupun Juz ‘Amma. Aku tak mau kalah darinya, aku juga ingin menjadi seorang hafizah Qur’an. Hehe..

Akhirnya aku dan Zahra harus berpisah, ia harus melanjutkan kuliahnya di luar kota. Ia ingin menjadi guru yang baik, itu cita-citanya, dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi tempat pilihannya. Walaupun jarak dan waktu menjadi tebing pemisah kami, namun ukhuwah di antara kami tetap terjaga, kami masih sering berbincang ria lewat telfon atau sms.



****

5 tahun ku habiskan waktuku, memperdalam ilmu disebuah universitas negeri di daerahku. Selama 5 tahun itu pula di setiap sujud malamku, selalu ku sempatkan untuk berdoa, menyebut namanya dalam kelam malam. Berharap Allah akan menyatukan kami dalam sebuah ikatan suci. Bahkan terkadang aku tersenyum sendiri menghayalkan pertemuan kami kembali.

Aku bergabung dengan sebuah organisasi islami disana, ku temui begitu banyak lelaki seperti dirinya, namun tetap saja perasaanku mengatakan dia istimewa. Bahkan sudah ada beberapa dari mereka yang mendatangi kedua orang tuaku, namun ayah dan ibuku selalu membiarkan aku yang menentukan. Tentu saja aku selalu mencari alasan untuk tak menerima khitbah mereka, masih ada seorang lelaki yang ku nantikan kehadirannya hingga kini.

Aku bingung kenapa aku menunggu? Ia tak pernah memberikan jawaban yang pasti padaku. Ia tak pernah memintaku untuk menunggunya. Hari ini saja, aku tak tau ia sedang apa dan dimana? Apakah ia masih hidup atau sudah tiada? Dan apakah ia sudah menikah atau belum? Semoga saja belum.

Hanyalah keyakinan yang membuatku bertahan, 7 tahun mencintainya bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula aku menunggu dan berharap. Berdoa dan selalu menyebut namanya.
Cinta adalah kepergian hati mencari yang dicinta, seraya lisan terus-menerus menyebut yang dicinta. lisan senantiasa menyebut yang dicinta, tak ragu lagi karena dirinya tengah dirundung cinta yang teramat sangat, maka ia akan banyak menyebutnya.

****

Hari ini semua penantianku telah terjawab, duduk di atas sebuah tempat tidur, aku menangis dalam senyuman, menatap nanar ke jendela yang sudah kuyup di penuhi tetesan hujan.

Layaknya langit yang tengah menangis, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada dirinya. Scene potongan kejadian masa lalu di pelupuk mataku sudah habis ku putar. Kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke benda di tanganku. Benda yang sedikit lebih tebal dari kertas, berwarna biru pemberian sahabat ku Zahra. Entahlah sudah berapa puluh kali aku membolak-balikkan benda itu, dan entahlah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak-balik karena melihat isinya.

Sebagai sahabat ini adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang sudah menunggu bertahun-tahun lamanya ini adalah kabar yang menyakitkan bagiku. Lalu dimana aku harus menempatkan diriku sendiri?? Butuh berapa lama aku untuk men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini?? Zahra adalah sahabatku dan lelaki itu adalah nama dalam doa ku.

Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduannya pada bumi. Aku melangkah gontai beranjak dari tempat tidurku, menghapus air mata yang sudah membasahi jilbab ku. Ku hela napas panjang dan tersenyum menatap langit diluar jendela.

Aku akan datang, menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara dia dan Zahra. Aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tindakan bodoh. Allah yang menakdirkan semua ini, berarti inilah yang terbaik untukku. Biar lah aku menelan semua pahit dan sakitnya perasaan ini dan biarkan waktu yang akan mencernanya. Karena aku tau, rasa sakit ini hanyalah bersifat sementara.

Sesungguhnya, Allah akan menggantinya dengan sebuah balasan yang nyata. Apakah penantianku sia-sia?? Tentu tidak, karena hari ini aku belajar ikhlas mencintai seseorang karena-Nya. Jika dulu aku memutuskan mencintainya dengan ikhlas, maka sekarangpun kehilangannya aku harus ikhlas.

Allah Maha Baik!! itulah yang ku pelajari dari dirinya. Ku tatap 2 buah pesan darinya yang 7 tahun lamanya sudah tersimpan di Handphone jadul ku, ku tarik napas panjang lalu ku hela perlahan seraya berkata.

”Allah Maha Baik.” Aku pun tersenyum menatap langit yang perlahan mulai memutih di balik jendela kamarku.


(Kirim kritik dan saran anda ke alamat di bawah ini atau komentar di bawahnya)

PENULIS                   : Abdurra'uf Hamdan Ridzky
TWITTER                   : @UmarAbdurrauf
FACEBOOK              : Umar Abdurrauf

undefined
undefined
Unknown


Mataku terasa berat, aku masih berbaring di atas tempat tidurku yang empuk. Remang-remang ku lihat langit-langit dengan cahaya menyilaukan yang menghalangi pandanganku. Ku angkat tubuh pemalas ini dan ku paksa berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar mandi. Aku sedikit menguap dan masih setengah sadarkan diri. Ku basuh wajah yang lusuh ini dan dinginnya air memulihkan kesadaranku.

Ku lihat jam masih menunjukkan pukul 03.15, segeraku ambil wudhu kemudian bergegas memakai mukenah. Setiap harinya aku selalu berusaha menyempatkan diri untuk sholat malam, kecuali jika tamu bulanan sudah datang. Aku selalu berdoa dan meminta dengan penuh harap, walaupun hingga kini Allah belum menjamah doa ku.

Ayahku memberiku nama Shakila Az-Zahra, Shakila artinya wanita cantik sedangkan Zahra artinya bunga, berarti arti namaku adalah wanita yang secantik bunga. Aku senang dengan nama yang diberikan oleh orang tua ku memiliki makna yang begitu indah. Tapi, teman-temanku dan keluargaku lebih akrab memanggilku Aqilah, yang artinya cerdas, walaupun sedikit berbeda dengan nama lengkapku, tapi aku suka.

Setelah sholat malam, biasanya aku bertilawah sedikit menunggu datangnya waktu shubuh, namun entah mengapa hari ini aku lebih ingin meresapi harapan yang ku pinta kepada Allah. Hari ini tanggal 5 Mei 2014, sebelumnya sahabat-sahabatku sudah memberi tahukan bahwa hari ini Alumni Rohis tempatku dulu bersekolah akan mengadakan reuni. Pasti akan sangat banyak sekali alumni dari masing-masing angkatan. Aku sendiri adalah angkatan 2009.

Sudah 5 tahun berlalu, masih teringat masa-masa indah yang ku lalui bersama sahabat-sahabatku ketika menjadi anggota sebuah organisasi keagamaan yang sering meramaikan musholah di sekolahku itu. Walaupun sudah lama lulus dan tak bersekolah disana lagi, terkadang aku dan beberapa sahabatku sering singgah dan mampir untuk melihat perkembangan Rohis setelah kami tinggalkan. Selain karena rumah yang tak begitu jauh dari sekolah, faktor amanah juga menjadi salah satu pemicunya.

Menjadi seorang aktifis dakwah sudah ku lakoni sejak aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Bahkan setelah berhenti menjadi aktifis dakwah sekolah, aku tetap menjadi aktifis dakwah dengan mengikuti sebuah lembaga dakwah kampus (LDK) di Universitas tempat ku melanjutkan jenjang pendidikan.

Aku masih duduk terdiam di atas tempat tidurku, memegang mukenah putih yang belum sempat ku lipat rapi. Aku masih mengharapkan bahwa hari ini Allah akan mengabulkan do’a ku. Sudah lebih dari 5 tahun aku memendam rasa dan menjaga hatiku, untuk seorang pemuda yang dulu pernah menjadi seniorku. Ia mengajariku banyak hal, namun pada saat itu bukan dia yang ingin mengajariku, melainkan aku yang selalu kepo bertanya ini dan itu kepadanya melalui sms. Awalnya semua pertanyaan itu hanyalah sebuah modus yang ku luncurkan untuk bisa mendekatinya.

Hehehe… sama halnya dengan modus ku itu, awalnya aku masuk Rohis juga karena tertarik kepada seniorku itu, yang terbilang cukup tampan dan populer dikalangan siswa perempuan di sekolahku. Namanya Salman Abdurrahman, ia 2 tahun lebih tua dari ku.

Saat itu aku masih kelas 1 SMA, masa-masa indah untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Memang pada awalnya, kehadiranku di Rohis ini hanyalah sebagai alibi mendekati kak Salman, namun tak pernah aku kira bahwa Allah menunjukkan jalan hidupku melalui organisasi kecil ini.

Aku sangat mengagumi kepribadian kak Salman, siapa yang tidak menginginkan pendamping sepertinya? Orangnya ramah, ganteng, murah senyum, sopan, cerdas dan yang paling penting sholeh. Kak Salman adalah salah satu murid berprestasi di sekolah, ia sangat terkenal di kalangan guru-guru maupun siswa. Alasan yang paling mendasar kenapa aku mendekati kak Salman, adalah karena ia masih sendiri, alias single atau jomblo.

Masa-masa mengaguminya adalah masa-masa terindah sekaligus terkonyol dalam hidupku, menjadi seorang pengagum rahasia yang Alhamdulillah-nya hingga saat ini tetap menjadi rahasia. Saat itu bukan cuma aku saja yang menjadi pengagum kak Salman, beberapa teman sekelas dan beberapa teman di Rohis juga banyak yang nge-fans pada lelaki berkulit kuning langsat ini.

Tak jarang aku mendengar pembicaraan mereka seputar kak Salman, bahkan terkadang beberapa dari mereka mengajakku untuk ikut andil dalam pembicaraan mereka. Beberapa teman dekatku juga sering cerita dan curhat tentang perasaannya pada kak Salman. Bahkan ada yang sampai menangis tersedu-sedu di hadapanku karena kak Salman menolak ajakannya untuk berpacaran.

Alhamdulillah, saat itu tak ada yang tau bahwa aku diam-diam juga sangat mengagumi kak Salman. Aku menyembunyikan perasaanku dihadapan teman-temanku, dan lebih sering menuangkan semua nya dalam buku diariku. Hal lain yang membuatku merasa lucu adalah setiap kali kak Salman melintas didepan para siswa perempuan. Kebanyakan dari mereka heboh sendiri, kegirangan seperti fans bertemu sang idola, apa lagi kalo kak Salman ngelirik dan membalas kehebohan mereka dengan senyuman khas nya. Aku saja sampai pusing melihat betapa lebay nya mereka hanya karena ketemu kak Salman. Berbeda dengan mereka, aku hanya bisa diam melihat ia berlalu dan perlahan menghilang dari pandangan. Padahal sebenarnya dalam hatiku seperti ada pesta kembang api yang lebih meriah dari pada kehebohan teman-temanku.

Aku beruntung, karena berada dalam satu organisasi dengan kak Salman. Sehingga aku bisa lebih dekat dengannya di bandingkan dengan mereka yang tidak tergabung dalam Rohis. Apalagi kalau sudah kegiatan bersih-bersih musholah, terkadang mataku ini sangat nakal melirik kak Salman yang sedang asyik mengangkati barang-barang dari dalam musholah.

Rasa takjub pun semakin mengembang dalam hatiku, ketika aku mendengar dari salah satu seniorku (perempuan) yang kebetulan adalah teman sekelas kak Salman, bahwa ternyata kak Salman sudah hafidz Al-Qur’an. Kekaguman menggeliat dalam hatiku, tak terbayangkan di usia yang masih tergolong sangat muda, mungkin belum genap 18 tahun, kak Salman sudah menghafal setiap ayat-ayat yang Allah sampaikan dalam kitab-Nya. Subhanallah, betapa kagumnya diriku kepada sosok lelaki sholeh yang ada di dekat ku ini.

Aku hanya mampu menyimpan semuanya dalam diam ku, entah mengapa aku tak ingin ada seorang pun yang tau tentang perasaanku ini.Walau terkadang terbersit fikiran untuk jujur dan mengungkapkannya, namun ku coba menahannya sekuat yang ku bisa. Bohong memang kalau aku katakan, aku tak ingin memilikinya, tapi biarlah semua itu terkubur dalam diamku saja.

Aku memiliki cara tersendiri untuk menuangkan kekagumanku pada kak Salman. Mungkin karena terlalu sakit rasanya jika aku memendam semuanya, aku mencari cara untuk menjadi penawar yang mampu memuaskan keinginan di jiwa. Yah, sejak hari itulah aku menjadi peneror setia kak Salman.

Berawal dari sebuah kepanitian, dalam rangka menyambut 1 Muharram. Aku diberikan amanah sebagai seorang sekertaris, dan hari dimana aku terpilih menjadi sekertaris adalah hari dimana aku mendapatkan nomor handphone kak Salman. Jelas saja sebagai seorang sekertaris aku harus mencatat dan menyimpan nomor ketua Rohis untuk memberikan laporan perkembangan kegiatan. Belum lagi ketika aku harus bertatapan langsung dengannya karena harus meminta tanda tangannya di proposal pelaksanaan. Aku hanya diam dengan seribu senyuman,walaupun aku tak bisa pungkiri bahwa hatiku tengah berteriak kegirangan.

Sejak mendapatkan nomor kak Salman, aku membeli kartu khusus yang aku gunakan untuk berkomunikasi dengan kak Salman. Dalam setiap sms aku tak pernah memperkenalkan diriku, walaupun kak Salman berulang kali bertanya "kamu siapa?" Aku tetap berkeras hati tak memberitahunya. Akan tetapi kak Salman tidak pernah memaksaku untuk mengungkapkan identitasku.

Terkadang aku sedikit iseng bertanya-tanya kepada kak Salman seputar agama, dengan segala basa-basi yang mungkin memang sudah sangat basi. Bahkan terkadang jari ku ini begitu fasih meraba tombol demi menanyakan ”Kakak lagi apa?” atau ”sudah makan kak?.” Benar-benar basa-basi yang kelewat basi.

Kak Salman pun tak sungkan untuk menjawabnya, tapi dia tak pernah balik bertanya hal yang sama padaku. Walaupun jujur saja aku sangat berharap sedikit saja perhatianku terbalas. Tapi itulah kak Salman, ia berfikir positif dengan setiap modus yang aku berikan. Ia menjawab pertanyaanku, yah hanya sekedar menjawabnya saja, tidak ada basa-basi sedikitpun darinya.

Pernah sesekali, ke isengan ku ini melewati batasan. Suatu ketika aku bertanya pada kak Salman secara langsung melalu telfon, alasan mengapa ia tak ingin berpacaran? Padahal begitu banyak perempuan yang menginginkan pacar yang sholeh seperti dirinya. Masih teringat jelas dalam benakku, penjelasan panjang yang ia berikan hanya untuk menjawab sebuah pertanyaan singkat dariku.

Kak Salman menjelaskan bahwa baginya pacaran itu sangat berdampak negatif. Pacaran itu sangat menyita waktu, fikiran, hati, dompet, bahkan mengganggu keimanan. Baginya pacaran adalah kalimat yang paling ia hindari, pacaran sangat mengganggu keimanan seorang manusia, cinta yang seharusnya disalurkan dengan cara yang di ridhoi Allah, malah di salah gunakan sebagai media bermaksiat.

Bahkan yang lebih dramatisnya, kebanyakan remaja yang pacaran masih minta uang kepada orang tua, sangat menyedihkan mengingat orang tua yang banting tulang mencari uang demi kebahagiaan sang Anak, malah anaknya gunakan sebagai modal perbuatan yang di larang Allah.

Orang yang pacaran, pastilah ingin saling memadu kasih. Berawal dari saling lempar kata-kata mesra, yang sebenarnya sudah termasuk khalwat alias zina lisan. Tidak cukup dengan itu, pastilah orang yang pacaran ingin saling tatap-tatapan dan beradu pandang alias zina mata. Padahal sudah jelaskan Allah perintahkan dalam Al-Qur’an (Saat itu dengan suara merdu kak Salman membacakan QS. An-Nur ayat 30-31).

yang artinya :”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang mana demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya....”

Saat itu aku hanya terdiam membisu mendengar lantunan ayat yang kak Salman bacakan. Kak Salman pun melanjutkan pembicaraannya, bahwa setelah pandangan, pastilah orang yang berpacaran ingin berdua-duaan atau menghabiskan waktu bersama, semisal jalan bareng, nonton, atau mungkin hanya sekedar makan. Padahal sudah jelas Rasulullah peringatkan kepada manusia.

”Ingatlah, janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan(bukan mahramnya) melainkan yang ketiganya adalah syaitan” (HR.Tirmidzi no.20165)

Selain itu, kak Salman mengatakan bahwa di jaman ini semua hal semisal pegangan tangan atau berciuman sudah menjadi hal biasa dalam kehidupan remaja, padahal sangat luar biasa siksa dan balasannya di neraka. Jangankan semua itu, merindukan dan memikirkan sang kekasih saja bisa menjadi zina hati dan fikiran.

Seketika itu aku terhentak, aku berfikir. Apakah selama ini aku sudah zina hati dan fikiran kepada kak Salman? Aku langsung mencari alasan untuk mengakhiri pembicaraan, dan dengan tenangnya kak Salman menerima alasan ku.

Sejak hari itulah aku memutuskan untuk berhenti meneror kak Salman, aku tak pernah lagi mengirimkan sms ataupun menelfonnya, dan seperti biasanya kak Salman selalu tenang seakan tak pernah terjadi apa-apa.

Tak sampai setahun mengaguminya, aku harus di hadapkan dengan kenyataan pahit bahwa kak Salman sudah lulus dan akan melanjutkan kuliah ke salah satu Universitas ternama di luar kota. Aku sangat bahagia karena kak Salman lulus disana, namun aku juga sedih karena harus kehilangan sosoknya.

********

Setelah kepergiannya hidupku berjalan sebagai semestinya, aku belajar lebih banyak dan lebih banyak lagi. Aku ingin terus memperbaiki diriku, menjadi seorang muslimah yang suatu hari kelak layak menjadi bidadari syurga bagi kak Salman. Anehnya, kemauan ini tumbuh begitu saja, padahal tak sedikit pun kak Salman memberikan ku harapan ataupun peluang.

Namun aku tetap berpegang teguh kepada janji Allah yang terdapat dalam QS. An-Nur ayat 26. yakni ”..Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik (pula)..”


Sejak kepergian kak Salman, aku semakin mantap menjaga cintaku dalam diamnya penantian. Membenahi diri dan memperdalam ilmu menjadi seorang akhwat yang baik. Hidupku berubah dengan hadirnya aku di Rohis ini, walaupun di awali dengan niat yang tidak baik, tapi inilah proses, dan Alhamdulillah kini aku sudah bisa menjaga kehormatanku sebagai seorang muslimah. Mengenakan jilbab syar’i sudah menjadi bagian dari hidupku, menjadi nafas baru menyelami jalan cinta para pejuang.

Setelah sekian tahun berlalu, aku pun lulus dari sekolah itu dan harus meninggalkan Rohis. Berat rasanya harus berpisah dengan sahabat-sahabat yang sudah sama-sama berjuang di jalan cinta-Nya, hati kami sudah satu dalam tali ukhuwah. Aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di dalam kota, selain orang tua ku yang menginginkan, aku juga masih ingin hadir ke halaqoh, berbagi ilmu kepada adik-adik Rohis yang akan meneruskan dakwah kami di sekolah ini.

Waktu berlalu begitu cepat, hari-hari aku habiskan dengan memperdalam ilmu dan memperbanyak amal ibadah. Perlahan aku mulai melupakan sosok kak Salman dalam hidupku. Fikiran ku mulai terbuka untuk fokus pada jalan dakwah-Nya. Namun, bukan berarti aku membuang cintaku pada kak Salman dengan percuma. Aku berhenti memikirkannya karena aku yakin inilah yang dia inginkan dariku. Kekhawatiranku pun perlahan menghilang, mungkin dulu pada awalnya aku sangat takut kehilangan kak Salman, namun hari ini aku belajar ikhlas mencintainya karena-Nya.

Aku serahkan semuanya kepada Allah, aku titipkan rindu dan cinta ini hanya kepada Allah, sedikit menaruh harap suatu hari nanti Allah akan memberikannya kepada kak Salman, namun siapapun nantinya yang akan Allah percayakan untuk menjadi pelabuhan rindu dan cintaku, aku ikhlas menerima. Karena aku yakin bahwa skenario Allah adalah yang terindah. Aku hanya mampu berdo’a, berharap Allah akan mempertemukan hati kami dalam naungan Cinta-Nya, bersatu dalam ketaatan, membina kasih dengan Al-Qur’an.


*******

Aku tersadar dari lamunanku tentang sekilas memori indah masa lalu, saat  itu juga ku letakkan mukenah di pangkuanku ke dalam lemari. Ku lirik, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 05.10, segera ku berwudhu dan menunaikan kewajibanku.

Hari ini tanggal 5 Mei 2014, Aku sudah bersiap berangkat menuju tempat reunian yang kebetulan di adakan di salah satu gedung yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Aku tak butuh tutorial hijab untuk tampil cantik dihadapan teman-teman lama, terlalu ribet dan belum tentu sesuai syari’at, untuk tampil cantik aku percaya diri dengan penampilanku. sedikit ku rapikan jilbab besarku yang berwarna kuning ke merah-merahan ini, sedikit berkaca dan melihat sosok bidadari cantik dangan pakaian nan indah, syar’i namun trendi.

Setelah pamit kepada kedua orang tua, aku pun pergi menggunakan mobil ayahku. Kebetulan ayahku sedang ambil cuti karena hari ini ayah bilang ada tamu spesial yang mau datang. Katanya sih pemilik perusahaan tempat ayah bekerja.

Setibanya di sana, sudah banyak ku lihat bidadari-bidadari cantik dengan jilbab syar’i berwarna-warni. Beberapa dari mereka memakai cadar dan beberapa tidak. Ada yang hadir membawa suami dan anaknya, ada juga yang datang sendiri sepertiku. Seperti biasanya, tempat akhwat dan ikhwan di pisah sedemikian rupa.

Acara pun di buka, di mulai dengan pembacaan Al-Qur’an yang di bawakan oleh salah satu alumni angkatan tahun 2013. suaranya merdu dan indah, aku bangga karena Rohis melahirkan pemuda dan pemudi yang luar biasa. Selanjutnya, adalah kata sambutan dari ketua panitia pelaksana yakni angkatan tahun 2009, dia adalah ketua Rohis semasa kami menjadi pengurus inti.

Acara demi acara berlalu, hingga memasuki acara tausiyah. Mataku terpaku, jantungku berdebar tak beraturan, lidahku kelu dan membisu, tak dapat ku nyatakan betapa bahagianya aku melihat sosok Kak Salman berdiri di atas pentas hendak menyampaikan tausiyahnya.

Sudah 7 Tahun lamanya, aku tak pernah melihat parasnya. Seketika itu ku palingkan mataku dan mencoba menenangkan diri dengan ber-istighfar. Salah satu teman ku mengatakan padaku, bahwa hingga kini kak Salman masih tetap single. DUUUAAARR!!!! Suara kembang api kebahagiaan meledak-ledak di hatiku. Mendengar hal itu membuatku bahagia sungguh terlalu.

Kini ia telah sukses menjadi seorang pengusaha, begitulah yang ia katakan ketika memperkenalkan dirinya. Ia menggeluti bidang kuliner, tekstil, properti, bahkan percetakan buku. Subhanallah, rasanya seakan-akan rasa kagum yang dulu bersemi kembali.

Sosoknya lebih menawan dari sebelumnya, dengan jenggot tipis, baju koko berwarna merah kehitaman dan kaca mata berlensa. Wibawanya tetap terjaga dan sungguh luar biasa bahwa ternyata ia sudah S2. ia menyelesaikan S1 nya dalam waktu 4 tahun dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo. Subhanallah, kak Salman selalu menanamkan rasa kagum dalam hatiku. semua tausiyah yang ia sampaikan seakan menjadi tausiyah cinta dalam hatiku.

Acarapun telah berlalu, semua saling bersalam-salaman, tentunya ikhwan dengan ikhwan dan akhwat dengan akhwat. Berhubung waktu telah memasuki waktu zhuhur. Aku pun memutuskan untuk singgah ke masjid yang jaraknya tak jauh dari gedung acara.

Selepas menunaikan kewajiban, aku mengucap syukur sebanyak-banyaknya karena Allah telah mengabulkan do’a ku untuk dipertemukan kembali dengan kak Salman. Dengan penuh harap aku tengadahkan tangan seraya kembali berdo’a kepada Sang Maha Cinta.

Ya Allah, sesungguhnya hanya kepada-Mu lah tempatku menggantungkan segala harap
Engkaulah yang Maha Cinta, Kau berikan cinta sebagai fitrah manusia, kau jadikan cinta sebagai media paling indah.
Ya Allah, hari ini aku bermohon pada-Mu ya Allah.
Engkau lah Tuhan yang Maha Tahu segala isi hati hamba-Mu, Sungguh tak bisa ku pungkiri bahwa hatiku ini memang mencintai hamba-Mu yang bernama Salman Abdurrahman.

Ya Allah, seandainya Engkau berikan aku seribu pilihan dan di antaranya adalah dia.
Maka pilihkanlah dia untukku.
Ya Allah, seandainya Engkau berikan aku seratus pilihan dan di antaranya adalah dia.
Maka pilihkanlah dia untukku.
Ya Allah, seandainya Engkau berikan aku sepuluh pilihan dan di antaranya adalah dia.
Maka pilihkanlah dia untukku.
Ya Allah, seandainya Engkau berikan aku dua pilihan dan salah satunya adalah dia.
Maka pilihkanlah dia untukku.
Namun, seandainya Engkau berikan aku satu pilihan, dan itu bukanlah dia.
Akan ku terima dengan ikhlas dan rasa syukurku.
Karena ku yakin Engkau lah Tuhan yang Maha Bijaksana.

Ya Allah, jika memang ia jodohku..
Pertemukanlah kami dengan jalan-Mu.
Ya Allah, jika memang ia bukan jodohku..
Pisahkanlah kami dengan jalan yang tak menyakiti hatiku.

Sesungguhnya Engkau lah Tuhan yang Maha Mendengar segala Do’a.


Setelah puas bersimpuh kepada Sang Kuasa, hati ini merasa legah dan damai. Sambil berjalan menuju parkiran aku tersenyum geli mengingat-ingat do’a ku barusan. Rasanya lucu sekali, tapi tak apalah... apa salahnya berharap.

Setibanya di rumah, aku melihat sebuah mobil mewah tengah parkir di halaman rumahku. ”sepertinya bos ayah sudah datang.” ujarku dalam hati. Aku pun turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah.

”Assalamu’alaiku....” Ucapku riang.
”Wa’alaikumsalam.” sahut pemuda tampan dan kedua orang tuaku.
”Ka.. Kak.. Salman ngapain datang kesini??” Tanya ku terbatah-batah melihat lelaki dengan jenggot tipis itu duduk berhadapan dengan kedua orang tuaku.
”Ini bos ayah... ” sahut ibu.
”Hai.. Aqilah.. lama gak ketemu yah..” sahut kak Salman.
”Bos ayah?? Jadi kak Salman bos nya ayah? Lalu kenapa kak Salman datang kemari?” tanyaku masih dengan nada tak beraturan.
”Sudah sini, kamu duduk dulu, ndak sopan ada tamu ngomong sambil berdiri di depan pintu begitu.” jawab ibu.
”Nak Salman datang kemari karena mau serius dengan kamu, Sebenarnya nak Salman dan ayah sudah sering membahas tentang dirimu. Ayah suka dengan laki-laki berkomitmen seperti nak Salman, kalau suka datangi ayahnya langsung. ayah sudah setuju kalo kamu menikah dengan nak Salman.” timpal ayah blak-blakan.
”Hehe... maaf yah Aqilah, kakak kemari gak bilang-bilang sama kamu. Sebenarnya, udah dari kemarin-kemarin kakak mau kesini, tapi kakak masih ragu... Entah kenapa siang ini, kakak dikuatkan sama Allah untuk mantap datang kesini dan melamar kamu.” Sambung kak Salman dengan wajah malu-malu dan senyum yang menawan.

Aku hanya terdiam tanpa kata, seketika pandanganku buram dan aku merasa ingin pingsan, dan masih dalam keadaan setengah sadar aku sudah terjatuh ke lantai.





Allah Yang Maha Baik...

Aku memang minta agar Engkau persatukan aku dan kak Salman, tapi tak ku sangka Kau akan kabulkan do’a ku secepat ini.



Selesai



PENULIS      : Abdurra'uf Hamdan Ridzky  
TWITTER      : @UmarAbdurrauf
FACEBOOK  : Umar Abdurrauf